Dian Pelangi resah setiap mendengar wanita pemakai jilbab atau hijab dicitrakan kuno, tua, dan kampungan. Tumbuh di keluarga kental tradisi Islam, ayah pengusaha garmen, dan ibu pemilik butik muslim, ia pun tertantang membuat perubahan.
Berbekal pendidikan tata
busana dan agama, ia ambil alih usaha butik ibunya. Tanpa menerjang pakem
syariat Islam, ia perlahan mengubah citra negatif busana muslim lewat
rancangannya yang stylish dan trendy.
Rancangannya tak hanya memikat
muslimah tanah air, tapi juga mancanegara. Bahkan, mereka yang tak mengenakan
hijab. “Saya tertantang mencipta fashion muslim yang berbeda.
Karena selama ini berbusana muslim itu dianggap nggak keren, kampungan,” kata
pemilik nama Dian Wahyu Utami itu.
Di tengah sukses sebagai
perancang muda, wanita kelahiran 14 Januari 1991 itu menelurkan ‘Hijaber
Community’. Komunitas muslimah muda yang aktif membagi tips dan pengalaman
terkait hijab dan Islam. Kegiatannya mulai dari islamic fashion show,tutorial
memakai hijab, tausiyah, dan pengajian.
Meski baru resmi berdiri awal
tahun ini, komunitas yang ia bangun sudah menarik minat sedikitnya 14.500 follower di Twitter,
dan lebih 19.000 pengguna Facebook. “Lewat komunitas ini, kami
ingin menginspirasi wanita untuk mengenakan busana muslim.”
Di sela kesibukan sebagai
perancang dan pendiri ‘Hijabers Community’, Dian menyempatkan diri berbincang
denganVIVAnews di butiknya, Bintaro, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana awal kisah terjun
ke fashion muslim?
Sejak kecil, saya memang
disiapkan orangtua untuk melanjutkan usaha garmen dan butik. Lulus SMP, saya
disekolahkan di SMK 1 Pekalongan jurusan Tata Busana. Sempat malu, tapi
sekarang malah bersyukur, he he he …
Lulus SMK, saya mulai diberi tanggung jawab mengurus butik ‘Dian Pelangi’ di Jakarta sambil melanjutkan sekolah ke ESMOD selama setahun. Setelah itu juga sempat mengambil kursus Bahasa Arab di Kairo, Mesir, untuk menambah pemahaman mengenai pakem-pakem agama Islam dalam berbusana.
Tahun 2009, saya diajak gabung
ke Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Saya menjadi anggota
termuda di asosiasi itu.
Pertama kali fashion
show?
Pertengahan tahun 2009. Saya
diajak Kementrian Pariwisata menggelar fashion show di
Melbourne, Australia. Saya terkejut, karena ternyata ada perancang senior Iva
Latifah juga. Sementara saya masih 18 tahun waktu itu.
Alhamdullilah responsnya
bagus. Sampai ada ulasan di koran terkemuka setempat The Age.
Mereka takjub dengan kolaborasi religi dan style yang saya
buat. Mereka tidak menganggap aku aneh, atau mengait-ngaitkan busana muslim
dengan terorisme.
Mereka apresiasi banget.
Banyak juga bule yang borong, karena kan memang potongannya universal, bisa
dipakai tanpa kerudung.
Dari situ aku semakin
tertantang membuat baju muslim yang stylish, tanpa harus dengan
bahan mahal.
Momentum yang paling
menentukan karier?
Jakarta Fashion Week 2009.
Saya tampil sebagai desainer junior pendatang baru. Responsnya luar biasa.
Semua orang sepertinya membicarakan saya dengan banyaknya ulasan di media
cetak, elektronik, dan internet.
Ajang ini yang sepertinya
membuat saya makin dikenal dan mendatangkan undangan fashion show ke
mancanegara. Ini menjadi batu loncatan yang bagus banget bukan hanya untuk aku
tapi untuk semua fashion disainer Indonesia.
Dari situ, koleksi saya
dilirik Kementrian Pariwisata untuk dibawa ke London, Inggris, April 2010,
dalam acara ‘Indonesia Is Remarkable’ di Harrods. Tapi, sebelumnya saya juga
sempat diajak pameran oleh Kementrian Perindustrian dan Perdagangan ke Abu
Dhabi. Dan, responsnya selalu positif.
Rancangan Dian Pelangi sudah menjelajah ke mana saja?
Beberapa wilayah Timur Tengah
seperti Dubai, Abu Dhabi, Kairo, Jordania. Juga Malaysia, Singapura, Perth,
Melbourne, London. Akhir tahun ini, insyaAllah ada muslim world exhibition di
Paris.
Sudah banyak juga yang
menawarkan untuk membuka butik di luar negeri, tapi saya masih butuh banyak
pengalaman. Banyak juga tawaran untuk sekadar memasarkan koleksi-koleksi saya
di Dubai, Jordania, bahkan Belgia.
Ada trik saat membawa
koleksi ke mancanegara?
Saya selalu survei dulu budaya
dan tren masyarakat setempat. Misalnya, saat ke Australia, saya pilih
model-model coat atau maxi dress. Kalau ke Timur
Tengah, saya buat model-model Kaftan. Ini mungkin yang membuat busana saya juga
mudah diterima di setiap tempat yang saya datangi.
Inspirasi rancangan Anda?
Saya sangat suka dengan gaya
busana Timur Tengah. Saya mulai mengamati gaya busana mereka sejak saya sekolah
di Mesir. Saya pikir, mereka yang paling menjiwai bagaimana cara berbusana
muslim yang baik. Ini sangat menginspirasi saya dalam mendesain busana muslim.
Tapi saya tak terpaku pada
gaya mereka. Saya juga suka mengadopsi gaya busana masyarakat Eropa saat musim
dingin. Dari situ saya mulai mencoba merancang busana tapi tetap dengan
memadukan ciri khas budaya Indonesia, seperti jumputan, songket, dan batik.
Saya ingin mengangkat
pengrajin asli Indonesia, agar hasil kerajinan mereka dikenal masyarakat luas.
Pakem rancangan busana
muslim?
Yang jelas, bahannya nggak
boleh transparan, desainnya nggak boleh membentuk tubuh, auratnya harus
tertutup rapat, tidak mengundang perhatian orang, dan nggak terlalu heboh.
Cuma kan masing-masing juga
ada tolak ukurnya. Kita juga harus memperhatikan perkembangan zaman. Kalau
tidak, kita semakin sulit menginspirasi seseorang untuk mengenakan busana rapat
dan menggunakan hijab.
Dulu orang menganggap
mengenakan busana muslim selalu identik dengan gaya yang kampungan, tapi
sekarang kan tidak lagi, mereka yang berbusana muslim juga bisa tetap tampil
bergaya namun aurat tetap terjaga.
Ada yang kontra dengan
karya Anda?
Bagi sebagian kalangan, desain
saya mungkin ada yang agak ekstrim. Ada yang bilang Dian Pelangi busananya
nggak mencirikan Islam. Itu jadi masukan.
Ada juga yang bilang Dian
Pelangi sukses karena ibu dan bapaknya. Ini memang usaha warisan, tapi
seharusnya mereka melihat setelah saya pegang grafiknya menurun, naik, atau
stag. Yang pasti, nggak mudah meneruskan usaha ini.
Ciri khas busana Dian
Pelangi?
Setiap desainer harus punya
karakter. Yang selalu saya tekankan adalah corak warna-warni sesuai label
‘Pelangi’ yang saya pakai. Minimal ada 2 -3 warna dalam setiap rancangan saya.
Harapannya, tanpa melihat label, orang sudah tahu itu rancangan saya. Kalau
tidak, bisa dicap rancangan orang lain.
Material kain impor atau
lokal?
Tenun, songket , batik, dan
jumputan diproduksi sendiri di Pekalongan. Bahannya pun asli Indonesia. Khusus
jumputan yang memang asli Palembang, biasanya saya desain dulu gradasi warnanya
baru dijumput. Kalau tenun, bapak saya menekuni sejak lama.
Ada berapa karyawan?
Di Jakarta sekitar 50 orang.
Di Pekalongan sekitar 300 pengrajin.
Kemampuan produksi dalam
sebulan?
Saya punya beberapa jenis
produk, yaitu Batik Pelangi, Dian Pelangi, Bride Pelangi, dan Tenun Pelangi.
Ada kategori mass product dengan harga berkisar Rp50-400 ribu, dan special
product Rp500 ribu sampai Rp3 juta.
Total sebulan bisa produksi
1.000 potong baju. Tapi, memasuki bulan Ramadan ini permintaan bisa meningkat
tujuh kali lipat.
Tren Ramadan tahun ini?
Ramadan tahun ini, koleksi
kami tetap mengacu pada model-model busana Timur Tengah, celana harem, atau
gaya-gaya Arab urban. Trennya masih seperti itu, mungkin dengan paduan bebatuan
kekemasan.
Tips berhijab ala Dian
Pelangi?
Kerudung kan memiliki gaya
macem-macem, tapi aturan yang harus diikuti. Jangan terpaku pada komentar
orang. Keluarkan saja personal style kamu, asal gayanya nggak terlalu
berlebihan.
Untuk malam, pilih kerudung
warna-warna gelap, seperti hitam, maroon, ungu, abu-abu atau sesuaikan dengan
acaranya. Untuk siang hari, gunakan warna-warna lembut. Jika baju sudah penuh
motif, kerudung jangan terlalu ramai. Sebaliknya, kalau kerudungnya sudah
ramai, baju netral saja.
Gaya busana Dian Pelangi
banyak ditiru dan jadi tren?
Ini menjadi sesuatu yang saya
sangat syukuri. Alhamdulillah bisa saling menginspirasi gaya
berbusana kaum muslimah. Ini juga tak lepas dari keberadaan teman-teman di
‘Hijabers Community’ yang turut mempopulerkan gaya busana Dian Pelangi lewat
event-event yang kami gelar.
Yang belakangan banyak
diminati adalah busana casual dari bahan kaos yang dijumput (tie dye).
Saya pikir kaos material yang tepat karena ringan, simpel, dan tidak terlalu
mahal.
Apa itu ‘Hijabbers
Community’?
Ini bermula puasa tahun lalu.
Saat itu, ada undangan banyak untuk fashion show saya. Teman
baik saya, Ria Miranda, usul kenapa nggak undang para muslimah remaja aja.
Nonton fashion show sekalian buka bersama. Akhirnya, kami
sebar undangan lewat jejaring sosial, kami juga gandeng para fashion
blogger.
Animonya ternyata bagus, dari 30 kursi yang kami pesan untuk buka puasa ternyata yang datang sampai 50-an orang. Dari situ, ada sekitar 30 orang yang intens berkomunikasi. Januari 2011 mulai terbentuk komunitas itu dan, Maret 2011 kami resmi launching.
Animonya ternyata bagus, dari 30 kursi yang kami pesan untuk buka puasa ternyata yang datang sampai 50-an orang. Dari situ, ada sekitar 30 orang yang intens berkomunikasi. Januari 2011 mulai terbentuk komunitas itu dan, Maret 2011 kami resmi launching.
Kegiatannya nggak hanya
mengadakan persiapan fashion show, tapi ada juga acara
pengajian rutin, tausiyah. Jadi nggak sekedar kumpul-kumpul haha hihi dan
ngomongin fashion aja, jadi ada pengajiannya juga, nggak
melulufashion show.
Ada yang bilang ‘Hijabers
Community’ seperti sosialita berjilbab?
Nggak gitu. Kami hanya sebagai
wadah yang ingin mengsinpirasi wanita untuk mengenakan busana muslim. Karena
selama ini berbusana muslim itu dianggap nggak keren, kampungan, nggak bisa
tampil trendy.
Banyak juga yang bilang pake
kerudung itu nggak bisa sukses dan berkembang. Lewat komunitas ini kami
tunjukkan kalau ternyata banyak muslimah yang kariernya bagus.
Kami nggak sekadar kumpul
ketawa-ketawi dan pamer barang mewah. Kami memang senang kumpul untuk tukar
informasi mengenai fashion dan senang berpakaian bagus, tapi apa yang kami
sebenarnya juga busana rancangan teman-teman sendiri.
Prinsip kami, syiar itu nggak
mesti dilakukan di masjid, bisa saja syiar (menyebarkan ajaran-ajaran Islam)
dilakukan di mall dengan memakai busana muslim yang menarik. Nggak zamannya
lagi seorang muslimah itu tertutup.
Alhamdulillah di
komunitas ini kami selalu saling mengingatkan, seperti ketika pake kerudung
kelihatan rambut atau leher, kami saling mengingatkan. Kami membuat komunitas
tapi tetap ada pakem-pakem muslimahnya.
Syarat jadi anggota
‘Hijabers Community’?
Yang pasti harus memakai
hijab. Saat ini, anggotanya baru 30, yang tergabung dalam komite kepengurusan
dengan rentang usia 20-30 tahun. Sejauh ini, sudah ada cabang di Bandung dan
Yogyakarta.
Kami sedang pikirkan untuk
menerima lebih banyak anggota dan membuat kartu identitas. Karena di sini kami
juga nggak asal ngambil orang untuk jadi anggota. Yang pasti harus diseleksi.
Tapi, kalau mereka yang selalu intens mengikuti kegiatan kami jumlahnya sangat
banyak.
Tantangan membangun
‘Hijabers Community’?
Kami sering dicap sebagai
wanita gaul berjilbab yang mau eksis doang. Tapi, justru kami jawab dengan
melakukan banyak kegiatan positif dan amal. Terserah orang mau bilang apa, dan
Alhamdulillah komunitas ini lebih banyak manfaatnya dari pada mudaratnya.
Impian ke depan?
Saya ingin bikin Adibusana
Muslim, biar nantinya fashion muslim sejajar dengan fashion-fashion di Paris
termasuk juga sejajar dengan Milan Fashion Week.
Bersama teman-teman di
‘Hijabers Community’, kami bercita-cita mengangkat dan mendukung Indonesia
menjadi pusat fashion muslim di dunia. Kalau bukan kita yang mengangkat busana
muslim, siapa lagi. (eh)
~ Semoga Bermanfaat dan
Menginspirasi Anda ~
Sumber : VIVAnew.com
FYI yaaaa, alamat blog Dian
Pelangi : http://dianrainbow.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar