Kamis, 21 Maret 2013

Cerpen : Hidup Kan Terus Berjalan


Keringat mengucur deras dari lubang pori-pori tubuhku. Hari ini hari yang sangat melelahkan bagiku. Bagaimana tidak, aku harus berjualan keliling pasar sejak pagi tadi demi memenuhi kebutuhan aku dan adikku, Salman.
Ya, beginilah keadaanku. Ibuku meninggal delapan tahun yang lalu, ketika aku berumur sembilan tahun. Ibuku meninggal ketika dalam perjalanan ke Rumah Sakit, ibuku sakit tifus. Dan ayahku meninggal dua tahun sebelum ibu meninggal. Kecelakaan itu telah merenggut nyawa ayahku. Tak terasa, air mataku menetes mengingat hal itu. Namun, aku harus tegar menghadapi semua ini. Ini semua memang sudah takdir Tuhan.
Aku tinggal bersama adikku, Salman, di sebuah kontrakan berukuran 3x4 meter. Ya, untuk menyewa kontrakan seperti ini saja, aku sering kali menunggak tiap kali membayar kepada Juragan Esih, pemilik kontrakan. Walaupun begitu, aku harus bersyukur, masih banyak orang yang hidupnya lebih susah. Untuk makan saja, susahnya minta ampun, apalagi untuk tempat tinggal dan kebutuhan yang lainnya. Setiap hari, aku selalu makan satu kali, itu pun jika ada uang. Jika tidak, terpaksa aku dan Salman makan makanan sisa di warteg sebelah kontrakanku.
Hari ini, jualanku laris manis. Alhamdulillah... Aku jadi teringat dengan Salman, sampai saat ini, aku belum berhasil menyekolahkannya. Mudah-mudahan saja, dengan uang tabunganku, Salman dapat sekolah. Tapi, bagaimana dengan baju seragam dan buku-buku untuk sekolah Salman, pasti mahal harganya. Sebenarnya, aku juga ingin sekolah seperti anak-anak yang lainnya. Ketika aku kelas 1 SMP, aku terpaksa putus sekolah karena aku tak mempunyai biaya lagi. Kalau aku masih sekolah, tentunya sekarang aku duduk di kelas 2 SMA. Pelajaran terakhir yang aku ingat, bentuk baku, aljabar... entahlah aku lupa dengan yang lainnya.
Ketika aku sampai di rumahku... eh, bukan rumah, tapi kontrakan Juragan Esih, kulihat Salman sedang duduk di bangku kayu. Dia sedang bernyanyi.
“Walau tak dapat selalu ku ungkapkan. Kata cintaku 'tuk mama. Namun dengarlah hatiku berkata.Sungguh kusayang padamu mama... Hanya ingin, kuberikan senandung dari hatiku untuk mama... Hanya sebuah lagu sederhana. Lagu cintaku untuk mama...”
Lagu itu, lagu yang selalu dinyanyikan oleh ibuku sebelum aku tidur. Lagu yang membuat hatiku tenang dan damai. Ingin sekali aku meneteskan air mataku, menangis. Namun, aku tak ingin membuat Salman sedih.
“Assalamu’alaikum...” ucapku pelan.
“Wa’alaikumsalam, kak Shanty, Salman kira Juragan Esih.” ujar Salman sambil mencium tanganku.
“Memang ada apa dengan Juragan Esih ?” tanyaku bingung.
“Salman takut. Juragan Esih itu badannya besar, nanti Salman dimakan.” canda Salman.
“Ssst.. Salman, jangan seperti itu! Walau Juragan Esih badannya besar, kita tetap harus menghormatinya. Kalau kedengeran, kamu mau tanggung jawab. Nah lho.” ujarku mengingatkan Salman.
“Shanty....” teriak Juragan Esih mengagetkanku dan Salman.
“Salman, kamu masuk ke dalam, ya. Buatkan air minum untuk Juragan Esih!” perintahku.
“Shanty....” teriak Juragan Esih kedua kalinya.
”Iya, Juragan.” ucapku.
“Shanty, mana uang kontrakan untuk bulan ini? Jangan sampai ada kata, ngutang. Ingat itu!” ujar Juragan Esih membuatku takut.
“Lho, kan belum akhir bulan. Sekarang baru tanggal 20. Bukannya sepuluh hari lagi. Hari ini, Shanty...” ucapku dengan terbata-bata.
“Gak punya uang. Jawaban lo udah gue tebak, Ty. Ty, di luar sana masih banyak yang mau ngontrak di bedeng gue ini. Gue lihat dagangan lo laku. Ada pantun, laris manis tanjung kimpul, dagangan laris duit kumpul.” ujar Juragan Esih.
“Tapi, uang itu buat sekolah Salman.” ujarku takut.
“Ye, si Salman lagi yang dipikirin. Lo mau si Salman sekolah, tapi lo susah, mau? Gue aja cuma tamatan SD, tapi bedeng gue.. banyak banget. Di Pasar Senen sepuluh, di Kebayoran lima belas, gue gak tau yang lainnya. Lagian ngapain susah-susah sekolah, akhirnya duit abis. Gak penting, Ty!” ujar Juragan Esih dengan sombongnya.
Buat aku, sekolah itu penting. Orang bilang tidak, tapi aku bilang iya.
“Ni orang malah bengong lagi. Cepetan, mau bayar kagak?” bentak Juragan Esih.
“Ya, Shanty bawa uangnya dulu. Oh, ya... Juragan mau minum apa?” ujarku pada Juragan Esih.
“Air putih aja. Di sini mana ada jus jeruk. Ngontrak aja nunggak mulu.” ucap Juragan Esih dengan sombongnya.
“Salman...”
“Iya, kak. Ini minumnya Juragan Esih. Silakan diminum!” ujar Salman.
Aku pun masuk ke dalam kontrakkan, kuambil uang hasil berjualanku tadi. Hanya ada Rp. 78.000, mana mungkin cukup. Aku pun memberikan uang itu pada Juragan Esih, dengan berat hati.
“Ya, cuma segini lagi. Biarin deh, cuma kurang 2000 perak, sekalian sedekah sama fakir miskin, gue kan Juragan Esih yang dermawan. Udah terkenal di kampung sepanjang kali Ciliwung. Eh, gue minum ya ini air putih  .” ujarnya dengan besar kepala.
“Cuih, air apaan ni? Jangan-jangan air dari kali Ciliwung lagi. Jorok banget sih lo, Man!” bentak Juragan Esih dengan muka kecut.
“Nggak kok...” ujar Salman takut.
“Udah deh, gue mau pamitan dulu ya! Ada arisan nih!” ucap Juragan Esih.
Aku sedih melihat Salman. Man, maafkan kakak ya. Sampai saat ini, kakak belum mempunyai uang untuk sekolah kamu. Andai saja ayah dan ibu masih hidup. Tentu aku tak akan seperti ini. Ah, sudahlah, kutepis semua bayang-bayangku tentang ayah dan ibu. Aku tahu, ayah dan ibu sangat sayang pada aku dan Salman. Semoga ayah dan ibu tenang di alam sana.
Aku baru ingat, aku belum shalat dzuhur. Astagfirullah... Aku sampai lupa dengan shalat dzuhur karena memikirkan nasibku sendiri. Masih banyak orang yang lebih menderita daripada aku.
Segera aku mengambil air wudlu, lalu aku shalat dzuhur berjamaah dengan Salman. Setelah shalat, aku berdoa, kucurahkan semua isi hatiku.
“Ya Allah, walau kami miskin, jangan biarkan hati kami miskin pula. Tegarkanlah dan tabahkanlah kami dalam menghadapi cobaan dari-Mu. Walau ayah dan ibu telah tiada, kami harus mandiri, dan semoga ayah dan ibu tenang di alam sana. Amin.” pintaku dalam doaku.
            Esoknya, aku bersiap-siap untuk pergi berjualan sayuran di pasar. Kontrakanku tidak jauh dari pasar, hanya sekitar lima puluh meter dari pasar.
            “Salman, kakak pamit dulu ya! Kamu mau minta dibelikan apa?” tanyaku pada Salman.
            “Terserah kakak! What ever...” canda Salman.
            “Ok. Bye!” balasku. Salman tertawa.
            Pasar, itu mungkin sekolahku. Aku berkawan dengan barang dagangan dan dengan pedagang lainnya. Di “sekolahku” ini, aku belajar berhitung dan bersosialisasi. Ya, beginilah aku.
            “Tukang cabut uban... tukang cabut uban, Siapa yang mau? Satu helai rambut, 20 rupiah. Siapa yang mau?”
            Demi mendapat uang, ada saja yang mau menjadi tukang cabut uban. Tapi walaupun begitu, pekerjaan itu halal. Ya, hidup akan terus berjalan, meski penuh dengan penderitaan. Aku bersyukur. Walaupun aku susah, tapi aku bahagia. Ada saja orang kaya, perusahaan di mana-mana, rumah bagai istana, namun hidupnya tidak bahagia.
            Alhamdulillah... hari ini daganganku laris manis. Aku dapat 135.000 rupiah. Lebih banyak daripada biasanya. Aku akan menabung untuk biaya sekolah Salman. Salman pasti senang. Sebelum aku pulang, aku membeli bakwan, makanan kesukaan Salman. Dan es krim, ini impian Salman sejak tiga bulan yang lalu. Setiap aku niat membeli es krim, pasti uangnya terpakai untuk kebutuhan lainnya yang mendesak.
            Sesampainya di kontrakanku, kudapati Salman sedang menulis sesuatu. Entah apa itu. Kulihat Salman sangat serius. Sampai tak mendengar derap langkah kakiku.
            “Salman, kamu lagi nulis apa? Serius banget.” ucapku
            “Eh, kak Shanty. Salman lagi nulis sebuah lagu.” ujar Salman sambil mencium tanganku.
            “Lagu apa? Pasti “Cinta Untuk Mama” kan?” tanyaku menebak-nebak.
            “Iya. Sama “Yang Terbaik Bagimu”. Salman belum hafal. Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya. Ku terus berjanji......”
            “Tak kan khianati pintanya. Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu. Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu...” Aku pun memeluk Salman.
            “Man, lagu itu lagu yang sering ayah nyanyikan. Lagu itu membuat hati kakak senang.” ucapku sedih.
            “Kak, kakak jangan sedih. Salman juga jadi sedih.” ujar Salman.
“Oh, ya. Kakak bawain bakwan sama es krim. Salman mau nggak?”
“Mau, Kak.” Ucap Salman sambil mengusap air matanya.
“Ni, Man!” ucapku.
“Kak, bakwannya sama es krimnya dibagi dua ya.” ujar Salman.
Aku mengangguk tanda setuju. Aku dan Salman menikmati es krim dan bakwan, yang mungkin satu bulan sekali hal itu aku lakukan.
Satu minggu kemudian, aku mendapat pekerjaan menjadi pelayan di sebuah restoran. Pada awal bulan, Pak Haryanto, manager restoran memberikan gaji pertamaku. Alhamdulillah...
Dalam perjalanan pulang, aku mendaftarkan Salman untuk bersekolah di sebuah Sekolah Dasar.. Salman pasti bahagia. Dan tiba-tiba... Bruk... Gelap.
Ketika aku membuka mata, aku berada di tempat yang asing bagiku.
“Aku dimana?” tanyaku.
“Kakak ada di Rumah Sakit. Kakak tertabrak mobil. Pelakunya melarikan diri. Tapi saksi mata sempat mencatat nomor polisi mobil itu. Polisi sedang melakukan pencarian.” jelas Salman.
“Man, tas kakak mana? Kakak mau pulang aja. Lama-lama di Rumah Sakit, biayanya pasti mahal” ujarku.
“Ini tas kakak.” ucap Salman.
“Shanty, sekarang kamu boleh pulang. Sebelumnya, silakan untuk membayar administrasinya dulu.” ujar Dokter.
“Aduh... Ya Dok!” kataku.
Setelah aku membayar administrasinya, aku bergegas pulang dengan adikku, Salman. Kulihat Salman begitu pucat. Sepertinya Salman sakit.
“Man, kamu sakit?” tanyaku.
“Nggak tau kak? Salman pusing, lebih baik, Salman istirahat di rumah saja.” ujar Salman.
Esoknya, seperti biasa, aku bekerja di restoran. Aku bawa sisa gaji awal bulan kemarin.
“Man, kakak pamit dulu!. Man, kemarin kakak mendaftarkan kamu ke Sekolah Dasar. Hari ini kamu masih sakit, mungkin besok kamu sudah mulai sekolah. Jangan terlalu memaksakan, nanti sakit kamu tambah parah.Oh ya, kamu mau minta apa?” ujarku.
“Makasih ya kak. Salman mau minta agar kakak pulang kesini dalam keadaan sehat. Maafin Salman ya kak!” ucap Salman.
“Maksud kamu apa?” tanyaku sungguh tak mengerti.
Salman menggeleng. Aku sungguh tak mengerti.
“Ya udah, kakak pamit dulu!”
Salman mengangguk.
Setelah aku bekerja, aku mampir dulu ke pasar. Aku ingin membeli baju seragam, buku-buku dan alat tulis untuk Salman. Salman pasti senang. Aku pun pulang dengan perasaan bahagia. Sangat bahagia.
Sesampainya di kontrakanku, kudapati Salman sedang tertidur pulas. Bahkan sangat pulas sekali.
“Man, bangun Man! Ini Kak Shanty.. Lihat, ada baju seragam, buku dan alat tulis buat kamu sekolah. Lihat deh Man, bagus-bagus kan.”
            Salman tetap tertidur.
“Man, bangun Man! Jangan-jangan... Nggak mungkin! Man... bangun Man” teriakku.
Kubalikkan badan Salman. Darah segar keluar dari hidungnya yang mancung. Badannya dingin. Sedingin es. Wajahnya pucat. Badannya terbujur kaku. Salman sudah tidak bernafas lagi.
“Salman.....” teriakku sekencang-kencangnya, sampai Bi Minah, tetanggaku datang.
“Ty, si Salman kenapa?” tanya Bi Minah.
Aku menggeleng. “Salman Bi, Salman meninggal...”
“Hah? Ty, kamu kenapa?” tanya Bi Minah kembali.
Aku menggeleng kembali. Bi Minah memeriksa denyut nadi dan hidung Salman.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un...Salman Ty” ucap Bi Minah pelan.
“Tidak mungkin... Tidak..............” teriakku. Gelap. Aku pingsan.
Entah berapa lama aku pingsan, ketika aku bangun, jasad Salman telah dimakamkan. Tak kusadari, permintaan Salman tadi adalah ucapan terakhirnya padaku. Salman, mengapa kamu mendahului kakak, Man. Kakak baru saja membeli baju seragam, buku dan alat tulis untuk kamu.
“Ty, ada sesuatu buat kamu?” ujar Bi Minah.
“Apa ini?” tanyaku.
Bi Minah mengangkat bahu tanda tak tahu. Kubuka kotak itu, isinya adalah sebuah leontin. Ada selembar kertas, kubaca tulisan pada kertas itu.

“Kak, Salman sayang sama kakak. Selama ini Salman bekerja, menjadi pengamen jalanan. Maaf, Salman nggak minta ijin dulu dari kakak. Pasti kakak melarang hal ini. Tukang cabut uban di pasar itu adalah Salman. Uang dari mengamen dan menjadi tukang cabut uban itu, Salman gunakan untuk membeli leontin untuk kakak. Bagaimana kak? Kakak senang kan?. Kak, entah kenapa, akhir-akhir ini, kepala Salman selalu pusing dan hidung Salman selalu mengeluarkan darah. Entahlah, kak. Kak, kakak telah menjadi inspirasi buat Salman, bahwa hidup itu kan terus berjalan, meski penuh dengan penderitaan. Kakak adalah Kak Shanty yang tegar, yang kuat yang selalu melindungi Salman. Terima kasih kak! Kakak adalah seorang kakak yang terbaik bagi Salman.”

“Kakak, nggak bisa membalas surat ini, Man. Kakak hanya dapat membalasnya lewat doa, Man. Ayah, Ibu, Salman, suatu saat kita pasti akan bertemu, entah kapan... Shanty tak tau” ucapku.
“Walau tak dapat selalu ku ungkapkan. Kata cintaku 'tuk mama. Namun dengarlah hatiku berkata.Sungguh kusayang padamu mama... Hanya ingin, kuberikan senandung dari hatiku untuk mama... Hanya sebuah lagu sederhana. Lagu cintaku untuk mama...”
“Tuhan tolonglah sampaikan. Sejuta sayangku untuknya. Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu. Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu.”
Benar, hidup itu kan terus berjalan, meski penuh dengan penderitaan. Walau di dunia ini aku tak punya siapa-siapa, aku harus tetap tegar. Aku adalah seorang Shanty yang tegar dan mandiri, bukan seorang Shanty yang manja dan pemalas.


Cianjur, Oktober 2009
Cerpennya cerpen jadul, jadi wajar bahasanya masih yah... terlalu awam untuk orang awam seperti saya hehehehe :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar