Keringat mengucur deras dari lubang
pori-pori tubuhku. Hari ini hari yang sangat melelahkan bagiku. Bagaimana
tidak, aku harus berjualan keliling pasar sejak pagi tadi demi memenuhi
kebutuhan aku dan adikku, Salman.
Ya, beginilah keadaanku. Ibuku meninggal
delapan tahun yang lalu, ketika aku berumur sembilan tahun. Ibuku meninggal
ketika dalam perjalanan ke Rumah Sakit, ibuku sakit tifus. Dan ayahku meninggal
dua tahun sebelum ibu meninggal. Kecelakaan itu telah merenggut nyawa ayahku.
Tak terasa, air mataku menetes mengingat hal itu. Namun, aku harus tegar
menghadapi semua ini. Ini semua memang sudah takdir Tuhan.
Aku tinggal bersama adikku, Salman, di
sebuah kontrakan berukuran 3x4 meter. Ya, untuk menyewa kontrakan seperti ini
saja, aku sering kali menunggak tiap kali membayar kepada Juragan Esih, pemilik
kontrakan. Walaupun begitu, aku harus bersyukur, masih banyak orang yang
hidupnya lebih susah. Untuk makan saja, susahnya minta ampun, apalagi untuk
tempat tinggal dan kebutuhan yang lainnya. Setiap hari, aku selalu makan satu
kali, itu pun jika ada uang. Jika tidak, terpaksa aku dan Salman makan makanan
sisa di warteg sebelah kontrakanku.
Hari ini, jualanku laris manis.
Alhamdulillah... Aku jadi teringat dengan Salman, sampai saat ini, aku belum
berhasil menyekolahkannya. Mudah-mudahan saja, dengan uang tabunganku, Salman
dapat sekolah. Tapi, bagaimana dengan baju seragam dan buku-buku untuk sekolah
Salman, pasti mahal harganya. Sebenarnya, aku juga ingin sekolah seperti
anak-anak yang lainnya. Ketika aku kelas 1 SMP, aku terpaksa putus sekolah
karena aku tak mempunyai biaya lagi. Kalau aku masih sekolah, tentunya sekarang
aku duduk di kelas 2 SMA. Pelajaran terakhir yang aku ingat, bentuk baku,
aljabar... entahlah aku lupa dengan yang lainnya.
Ketika aku sampai di rumahku... eh, bukan
rumah, tapi kontrakan Juragan Esih, kulihat Salman sedang duduk di bangku kayu.
Dia sedang bernyanyi.
“Walau tak dapat selalu ku ungkapkan. Kata
cintaku 'tuk mama. Namun dengarlah hatiku berkata.Sungguh kusayang padamu mama...
Hanya ingin, kuberikan senandung dari hatiku untuk mama... Hanya sebuah lagu
sederhana. Lagu cintaku untuk mama...”
Lagu itu, lagu yang selalu dinyanyikan oleh
ibuku sebelum aku tidur. Lagu yang membuat hatiku tenang dan damai. Ingin
sekali aku meneteskan air mataku, menangis. Namun, aku tak ingin membuat Salman
sedih.
“Assalamu’alaikum...” ucapku pelan.
“Wa’alaikumsalam, kak Shanty, Salman kira
Juragan Esih.” ujar Salman sambil mencium tanganku.
“Memang ada apa dengan Juragan Esih ?”
tanyaku bingung.
“Salman takut. Juragan Esih itu badannya
besar, nanti Salman dimakan.” canda Salman.
“Ssst.. Salman, jangan seperti itu! Walau
Juragan Esih badannya besar, kita tetap harus menghormatinya. Kalau kedengeran,
kamu mau tanggung jawab. Nah lho.” ujarku mengingatkan Salman.
“Shanty....” teriak Juragan Esih
mengagetkanku dan Salman.
“Salman, kamu masuk ke dalam, ya. Buatkan
air minum untuk Juragan Esih!” perintahku.
“Shanty....” teriak Juragan Esih kedua
kalinya.
”Iya, Juragan.” ucapku.
“Shanty, mana uang kontrakan untuk bulan
ini? Jangan sampai ada kata, ngutang. Ingat itu!” ujar Juragan Esih membuatku
takut.
“Lho, kan belum akhir bulan. Sekarang baru
tanggal 20. Bukannya sepuluh hari lagi. Hari ini, Shanty...” ucapku dengan
terbata-bata.
“Gak punya uang. Jawaban lo udah gue tebak,
Ty. Ty, di luar sana masih banyak yang mau ngontrak di bedeng gue ini. Gue
lihat dagangan lo laku. Ada pantun, laris manis tanjung kimpul, dagangan laris
duit kumpul.” ujar Juragan Esih.
“Tapi, uang itu buat sekolah Salman.”
ujarku takut.
“Ye, si Salman lagi yang dipikirin. Lo mau
si Salman sekolah, tapi lo susah, mau? Gue aja cuma tamatan SD, tapi bedeng
gue.. banyak banget. Di Pasar Senen sepuluh, di Kebayoran lima belas, gue gak
tau yang lainnya. Lagian ngapain susah-susah sekolah, akhirnya duit abis. Gak
penting, Ty!” ujar Juragan Esih dengan sombongnya.
Buat aku, sekolah itu penting. Orang bilang
tidak, tapi aku bilang iya.
“Ni orang malah bengong lagi. Cepetan, mau
bayar kagak?” bentak Juragan Esih.
“Ya, Shanty bawa uangnya dulu. Oh, ya...
Juragan mau minum apa?” ujarku pada Juragan Esih.
“Air putih aja. Di sini mana ada jus jeruk.
Ngontrak aja nunggak mulu.” ucap Juragan Esih dengan sombongnya.
“Salman...”
“Iya, kak. Ini minumnya Juragan Esih.
Silakan diminum!” ujar Salman.
Aku pun masuk ke dalam kontrakkan, kuambil
uang hasil berjualanku tadi. Hanya ada Rp. 78.000, mana mungkin cukup. Aku pun
memberikan uang itu pada Juragan Esih, dengan berat hati.
“Ya, cuma segini lagi. Biarin deh, cuma kurang
2000 perak, sekalian sedekah sama fakir miskin, gue kan Juragan Esih yang
dermawan. Udah terkenal di kampung sepanjang kali Ciliwung. Eh, gue minum ya
ini air putih .” ujarnya dengan besar
kepala.
“Cuih, air apaan ni? Jangan-jangan air dari
kali Ciliwung lagi. Jorok banget sih lo, Man!” bentak Juragan Esih dengan muka
kecut.
“Nggak kok...” ujar Salman takut.
“Udah deh, gue mau pamitan dulu ya! Ada
arisan nih!” ucap Juragan Esih.
Aku sedih melihat Salman. Man, maafkan
kakak ya. Sampai saat ini, kakak belum mempunyai uang untuk sekolah kamu. Andai
saja ayah dan ibu masih hidup. Tentu aku tak akan seperti ini. Ah, sudahlah,
kutepis semua bayang-bayangku tentang ayah dan ibu. Aku tahu, ayah dan ibu
sangat sayang pada aku dan Salman. Semoga ayah dan ibu tenang di alam sana.
Aku baru ingat, aku belum shalat dzuhur.
Astagfirullah... Aku sampai lupa dengan shalat dzuhur karena memikirkan nasibku
sendiri. Masih banyak orang yang lebih menderita daripada aku.
Segera aku mengambil air wudlu, lalu aku
shalat dzuhur berjamaah dengan Salman. Setelah shalat, aku berdoa, kucurahkan
semua isi hatiku.
“Ya Allah, walau kami miskin, jangan
biarkan hati kami miskin pula. Tegarkanlah dan tabahkanlah kami dalam
menghadapi cobaan dari-Mu. Walau ayah dan ibu telah tiada, kami harus mandiri,
dan semoga ayah dan ibu tenang di alam sana. Amin.” pintaku dalam doaku.
Esoknya, aku bersiap-siap untuk
pergi berjualan sayuran di pasar. Kontrakanku tidak jauh dari pasar, hanya
sekitar lima puluh meter dari pasar.
“Salman, kakak pamit dulu ya! Kamu
mau minta dibelikan apa?” tanyaku pada Salman.
“Terserah kakak! What ever...” canda
Salman.
“Ok. Bye!” balasku. Salman tertawa.
Pasar, itu mungkin sekolahku. Aku
berkawan dengan barang dagangan dan dengan pedagang lainnya. Di “sekolahku” ini,
aku belajar berhitung dan bersosialisasi. Ya, beginilah aku.
“Tukang cabut uban... tukang cabut
uban, Siapa yang mau? Satu helai rambut, 20 rupiah. Siapa yang mau?”
Demi mendapat uang, ada saja yang
mau menjadi tukang cabut uban. Tapi walaupun begitu, pekerjaan itu halal. Ya,
hidup akan terus berjalan, meski penuh dengan penderitaan. Aku bersyukur.
Walaupun aku susah, tapi aku bahagia. Ada saja orang kaya, perusahaan di
mana-mana, rumah bagai istana, namun hidupnya tidak bahagia.
Alhamdulillah... hari ini daganganku
laris manis. Aku dapat 135.000 rupiah. Lebih banyak daripada biasanya. Aku akan
menabung untuk biaya sekolah Salman. Salman pasti senang. Sebelum aku pulang,
aku membeli bakwan, makanan kesukaan Salman. Dan es krim, ini impian Salman
sejak tiga bulan yang lalu. Setiap aku niat membeli es krim, pasti uangnya
terpakai untuk kebutuhan lainnya yang mendesak.
Sesampainya di kontrakanku, kudapati
Salman sedang menulis sesuatu. Entah apa itu. Kulihat Salman sangat serius.
Sampai tak mendengar derap langkah kakiku.
“Salman, kamu lagi nulis apa? Serius
banget.” ucapku
“Eh, kak Shanty. Salman lagi nulis
sebuah lagu.” ujar Salman sambil mencium tanganku.
“Lagu apa? Pasti “Cinta Untuk Mama”
kan?” tanyaku menebak-nebak.
“Iya. Sama “Yang Terbaik Bagimu”.
Salman belum hafal. Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya. Ku
terus berjanji......”
“Tak kan khianati pintanya. Ayah
dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu. Kan ku buktikan ku mampu penuhi
maumu...” Aku pun memeluk Salman.
“Man, lagu itu lagu yang sering ayah
nyanyikan. Lagu itu membuat hati kakak senang.” ucapku sedih.
“Kak, kakak jangan sedih. Salman
juga jadi sedih.” ujar Salman.
“Oh, ya. Kakak bawain bakwan sama es krim.
Salman mau nggak?”
“Mau, Kak.” Ucap Salman sambil mengusap air
matanya.
“Ni, Man!” ucapku.
“Kak, bakwannya sama es krimnya dibagi dua
ya.” ujar Salman.
Aku mengangguk tanda setuju. Aku dan Salman
menikmati es krim dan bakwan, yang mungkin satu bulan sekali hal itu aku
lakukan.
Satu minggu kemudian, aku mendapat
pekerjaan menjadi pelayan di sebuah restoran. Pada awal bulan, Pak Haryanto,
manager restoran memberikan gaji pertamaku. Alhamdulillah...
Dalam perjalanan pulang, aku mendaftarkan
Salman untuk bersekolah di sebuah Sekolah Dasar.. Salman pasti bahagia. Dan
tiba-tiba... Bruk... Gelap.
Ketika aku membuka mata, aku berada di
tempat yang asing bagiku.
“Aku dimana?” tanyaku.
“Kakak ada di Rumah Sakit. Kakak tertabrak
mobil. Pelakunya melarikan diri. Tapi saksi mata sempat mencatat nomor polisi
mobil itu. Polisi sedang melakukan pencarian.” jelas Salman.
“Man, tas kakak mana? Kakak mau pulang aja.
Lama-lama di Rumah Sakit, biayanya pasti mahal” ujarku.
“Ini tas kakak.” ucap Salman.
“Shanty, sekarang kamu boleh pulang.
Sebelumnya, silakan untuk membayar administrasinya dulu.” ujar Dokter.
“Aduh... Ya Dok!” kataku.
Setelah aku membayar administrasinya, aku
bergegas pulang dengan adikku, Salman. Kulihat Salman begitu pucat. Sepertinya Salman sakit.
“Man, kamu sakit?” tanyaku.
“Nggak tau kak? Salman pusing, lebih baik,
Salman istirahat di rumah saja.” ujar Salman.
Esoknya, seperti biasa, aku bekerja di
restoran. Aku bawa sisa gaji awal bulan kemarin.
“Man, kakak pamit dulu!. Man, kemarin kakak
mendaftarkan kamu ke Sekolah Dasar. Hari ini kamu masih sakit, mungkin besok
kamu sudah mulai sekolah. Jangan terlalu memaksakan, nanti sakit kamu tambah
parah.Oh ya, kamu mau minta apa?” ujarku.
“Makasih ya kak. Salman mau minta agar
kakak pulang kesini dalam keadaan sehat. Maafin Salman ya kak!” ucap Salman.
“Maksud kamu apa?” tanyaku sungguh tak
mengerti.
Salman menggeleng. Aku sungguh tak
mengerti.
“Ya udah, kakak pamit dulu!”
Salman mengangguk.
Setelah aku bekerja, aku mampir dulu ke
pasar. Aku ingin membeli baju seragam, buku-buku dan alat tulis untuk Salman.
Salman pasti senang. Aku pun pulang dengan perasaan bahagia. Sangat bahagia.
Sesampainya di kontrakanku, kudapati Salman
sedang tertidur pulas. Bahkan sangat pulas sekali.
“Man, bangun Man! Ini Kak Shanty.. Lihat,
ada baju seragam, buku dan alat tulis buat kamu sekolah. Lihat deh Man,
bagus-bagus kan.”
Salman tetap tertidur.
“Man, bangun Man! Jangan-jangan... Nggak
mungkin! Man... bangun Man” teriakku.
Kubalikkan
badan Salman. Darah segar keluar dari hidungnya yang mancung. Badannya dingin.
Sedingin es. Wajahnya pucat. Badannya terbujur kaku. Salman sudah tidak
bernafas lagi.
“Salman.....” teriakku
sekencang-kencangnya, sampai Bi Minah, tetanggaku datang.
“Ty, si Salman kenapa?” tanya Bi Minah.
Aku menggeleng. “Salman Bi, Salman
meninggal...”
“Hah? Ty, kamu kenapa?” tanya Bi Minah
kembali.
Aku menggeleng kembali. Bi Minah memeriksa
denyut nadi dan hidung Salman.
“Inna lillahi wa inna ilaihi
roji’un...Salman Ty” ucap Bi Minah pelan.
“Tidak mungkin... Tidak..............”
teriakku. Gelap. Aku pingsan.
Entah berapa lama aku pingsan, ketika aku
bangun, jasad Salman telah dimakamkan. Tak kusadari, permintaan Salman tadi
adalah ucapan terakhirnya padaku. Salman, mengapa kamu mendahului kakak, Man.
Kakak baru saja membeli baju seragam, buku dan alat tulis untuk kamu.
“Ty, ada sesuatu buat kamu?” ujar Bi Minah.
“Apa ini?” tanyaku.
Bi Minah mengangkat bahu tanda tak tahu.
Kubuka kotak itu, isinya adalah sebuah leontin. Ada selembar kertas, kubaca
tulisan pada kertas itu.
“Kak, Salman sayang sama kakak. Selama ini
Salman bekerja, menjadi pengamen jalanan. Maaf, Salman nggak minta ijin dulu
dari kakak. Pasti kakak melarang hal ini. Tukang cabut uban di pasar itu adalah
Salman. Uang dari mengamen dan menjadi tukang cabut uban itu, Salman gunakan
untuk membeli leontin untuk kakak. Bagaimana kak? Kakak senang kan?. Kak, entah
kenapa, akhir-akhir ini, kepala Salman selalu pusing dan hidung Salman selalu
mengeluarkan darah. Entahlah, kak. Kak, kakak telah menjadi inspirasi buat
Salman, bahwa hidup itu kan terus berjalan, meski penuh dengan penderitaan.
Kakak adalah Kak Shanty yang tegar, yang kuat yang selalu melindungi Salman.
Terima kasih kak! Kakak adalah seorang kakak yang terbaik bagi Salman.”
“Kakak, nggak bisa membalas surat ini, Man. Kakak hanya dapat membalasnya lewat doa, Man. Ayah, Ibu, Salman, suatu saat kita pasti akan bertemu, entah kapan... Shanty tak tau” ucapku.
“Kakak, nggak bisa membalas surat ini, Man. Kakak hanya dapat membalasnya lewat doa, Man. Ayah, Ibu, Salman, suatu saat kita pasti akan bertemu, entah kapan... Shanty tak tau” ucapku.
“Walau tak dapat selalu ku ungkapkan. Kata
cintaku 'tuk mama. Namun dengarlah hatiku berkata.Sungguh kusayang padamu mama...
Hanya ingin, kuberikan senandung dari hatiku untuk mama... Hanya sebuah lagu
sederhana. Lagu cintaku untuk mama...”
“Tuhan
tolonglah sampaikan. Sejuta sayangku untuknya. Ku terus berjanji tak kan
khianati pintanya Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu. Kan ku buktikan
ku mampu penuhi maumu.”
Benar,
hidup itu kan terus berjalan, meski penuh dengan penderitaan. Walau di dunia
ini aku tak punya siapa-siapa, aku harus tetap tegar. Aku adalah seorang Shanty
yang tegar dan mandiri, bukan seorang Shanty yang manja dan pemalas.
Cianjur, Oktober 2009
Cerpennya cerpen jadul, jadi wajar bahasanya masih yah... terlalu awam untuk orang awam seperti saya hehehehe :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar