WARNING! Cerpen ini dibuat waktu jamannya idola cilik 2 masih ada, jadi wajar kalau pemain-pemain nya yah... baca dulu aja sih :))))
Cakka
adalah seorang cowok yang menjadi idola di SMP Harapan Bangsa. Dan Oik, menjadi
cewek dengan rating pertama yang menjadi idola di SMP Harapan Bangsa juga. Hal
ini membuat Cakka dan Oik sering dijuluki dengan Raja dan Ratu sekolah. Tentu
saja hal ini membuat beberapa orang cemburu, baik pada Cakka atau pun Oik.
“Walau
aku temen baik Cakka, tapi... tetep aja, aku cemburu sama dia... Oikku direbut
sama dia...” ucap Obiet.
“Well,
aku juga temennya Oik, tapi, aku juga cemburu sama dia... Cakkaku berpaling
dari aku...” ujar Cahya sambil mencomot pisang goreng yang baru saja dibelinya
di kantin sekolah.
“Udah
guys, belum tentu mereka pacaran kan... Mungkin mereka sering digosipin jadian
sama anak-anak karena mereka cowok dan cewek idola di sekolah ini...” ucap Debo
menenangkan hati kedua temannya itu.
Selain
itu, Cakka adalah kapten basket terhebat dari kapten-kapten sebelumnya.
Sedangkan Oik, dia adalah penyanyi yang hebat dan terkenal di seantero sekolah.
Hari ini adalah hari pertama Oik bersekolah setelah liburan semester satu.
“Hei,
Ik...” ucap Agni sembari merangkul sahabatnya, Oik.
“Hei...
Gimana liburan kamu?” tanya Oik pada Agni.
“Ya
gitu deh... seru seru nggak...” ujar Agni sembari menghela napas panjang.
“Suddd???”
tanya Oik tidak mengerti.
“Ya
gitu, aku cuma liburan di rumah aja... Aku sih pinginnya surfing sama diving di
pantai... Tapi mamapapa nggak ngijinin... Katanya, khawatir lah, takut
tenggelem lah... Kan, aku baru aja selesai belajar surfing sama diving... Aku
pingin nyoba-nyoba aja kemampuan aku yang satu ini... Oh, ya, kamu kemana?”
ucap Agni dengan sedikit perasaan kecewa.
“Aku
ke rumah tanteku, di Bali... Ya, lumayan rame sih...” ucap Oik.
Tiba-tiba,
Cakka terlihat berlari-lari sambil membawa setumpuk buku. Dan tidak sengaja,
dia menabrak Oik sampai mereka berdua terjatuh.
“Aduh...”
ucap Oik meringis kesakitan.
“Sorry
Ik, aku bener-bener nggak sengaja... Maafin aku ya, Ik!” ujar Cakka sambil
menatap Oik.
Tatapan
matanya... bikin duniaku kebalik aja... Jadi ge-er nih... batin Oik
“Ka,
lo nggak apa-apa kan?” ucap Agni sambil membantu Cakka untuk berdiri.
“Makasih...”
ucap Cakka sambil membereskan buku-buku yang berserakan di lantai koridor
sekolah mereka.
“Biar
aku bantu ya, Ka” ujar Oik.
Ketika
Oik sedang membereskan buku-buku yang dibawa Cakka, Agni terlihat tidak senang
atas apa yang baru dilihatnya tadi. Dia pun memutuskan untuk meninggalkan Oik
dan Cakka.
“Cak,
kamu kenapa sih, kok buru-buru amat?” tanya Oik pada Cakka.
“Iya
nih, pak Duta minta aku buat nganterin buku-buku ini ke ruang guru, sementara
aku lagi ditunggu sama Debo, Obiet dan Patton. Makanya, aku buru-buru. Eh, maaf
ya...” ucap Cakka sambil memandang wajah Oik.
Duh,
Cakka ganteng banget lagi, ngapain dia natap aku kayak gitu... Makin ge-er
aku... batin Oik.
“Oik,
kamu masih sadar kan?” tanya Cakka cemas.
“I-i-ya,
kok jadi ngelamun ya? Ehm, biar aku aja deh yang nganterin buku-buku ini ke
ruang guru...” pinta Oik.
“Nggak
usah, Ik... Makin ngerepotin aja...” tolak Cakka.
“Udah
lah Ka, nanti Obiet, Debo sama Patton, marah lagi... udah lah, nggak ngerepotin
kok... Biar aku aja!” ujar Oik meyakinkan.
Cakka
kembali menatap wajah Oik. Kali ini, lebih serius lagi. Sangat serius, serius
sekali.
Dia
mau ngapain ya?... Duh jangan-jangan... Nggak, nggak mungkin... Ge-er lagi
aku.. batin Oik
“Bulu
mata kamu ada yang jatuh... Biar aku ambil...” ucap Cakka sambil menatap wajah
Oik lebih serius lagi.
“Nggak
usah....” tolak Oik.
“Haah....
kok kamu...” ucapan Cakka terputus.
“Aku
nganterin buku-buku ini dulu ya ke ruang guru... Dah...” ucap Oik sembari
melambaikan tangannya.
“Oik,
besok jangan lupa ya, pertandingan basket...” ucap Cakka mengingatkan.
“Sip...”
Besoknya,
Oik sudah tidak sabar melihat Cakka bermain basket. Oik, Cahya, Rahmi dan Agni
berada di barisan pendukung tim biru, tim Cakka, Obiet, Debo, Patton dan yang
lainnya. Sementara, di sisi lain, Sivia, Sila, Angel dan yang lainnya, berada
di barisan pendukung dari tim merah, tim Kiki, Gabriel dan yang lainnya.
P r i i i i i i t t t t t t . . .
. .
Suara
peluit menandakan pertandingan telah dimulai. Cakka mendrible bola dengan
lincahnya. Tak seorang pun dapat merebutnya.
“Cakka...
You are the best...” teriak Oik penuh semangat.
Cakka
mengacungkan jempolnya kepada Oik dan Oik membalasnya dengan senyuman yang
begitu manisnya.
“You
are the best... Cakka! Cakka... Cakka...” teriak Agni tak kalah semangat.
Cakka
tak membalas dukungan dari Agni, bahkan tak sedikit pun menoleh pada Agni.
Entah kenapa, salah satu dari tim merah mendorong Cakka hingga dia terjatuh dan
lututnya terlihat mengeluarkan darah. Dan, secara spontan Oik dan Agni berlari
ke tengah lapang serta mengulurkan tangannya untuk membantu Cakka berdiri.
Cakka pun meraih tangan Oik dan Agni. Oik dan Agni terlihat bingung seketika.
“Biar
adil... Ner, gantiin aku dong...” ucap Cakka sembari melepas kaos basket
kesayangannya dan melemparkannya kepada Abner.
Agni
dan Oik pun mengantarkan Cakka ke ruang UKS.
“Ni,
tadi, kamu kok niru kata-kata aku?” tanya Oik hati-hati.
“Jadi
nggak boleh nih?” tanya Agni.
“Ya...
boleh aja sih...” ujar Oik.
“Asal
aku nggak sok caper sama Cakka... Gitu kan maksud kamu? Jadi kamu nggak suka
kalau aku deket sama Cakka?” tanya Agni dengan kesal.
“Hei,
udah dong, kalian jangan bertengkar... Oik, kamu nggak apa-apa kan?” tanya
Cakka dengan cemas.
“Terus
aja perhatian sama dia... Ka, kamu suka kan sama Oik? Jawab... aku lebih sakit
hati lagi kalau kamu nggak jawab pertanyaan aku ini... Jawab...” pinta Agni
dengan menitikkan air mata.
Cakka
terdiam sesaat. Tiba-tiba, Agni keluar UKS dan menuju ke lapangan. Dia berdiri
di barisan pendukung tim merah. Tiba-tiba, asma Kiki kambuh.
“Aduh,
gimana nih? Nggak ada cadangan lagi” ucap Sivia cemas.
“Biar
aku aja yang gantiin...” ujar Agni.
“Tapi,
kamu kan cewek!” ucap Angel
“Udah
lah, daripada kita kalah!” saran Kiki.
“Ok,
mana baju basketnya?” tanya Agni.
“Nih...”
ucap Kiki sambil melemparkan kaos basketnya kepada Agni.
Permain
pun dilanjutkan, Agni berhasil merebut bola dan mendriblenya hingga
menembakannya ke ring dan bola pun masuk. Point untuk tim merah. Bola kembali
didrible oleh Agni hingga dia menembakannya ke arah ring. Namun, takdir berkata
lain, bola basket itu memantul ke arah Oik, hingga dia kesakitan dan akhirnya
pingsan.
“Oik...”
teriak Rahmi.
Oik
pun dibawa ke UKS dan ternyata di UKS ada Cakka yang sedang diobati oleh
anak-anak PMR.
“Oik??
Dia kenapa??” tanya Cakka cemas.
“Kena
bola, Ka!” ucap Rahmi.
“Sama
siapa?” tanya Cakka.
“Ehm..
sama... Agni...” ujar Rahmi.
“Agni??
Dia main?? Bukannya Abner yang gantiin aku??” tanya Cakka bingung.
“Dia
main buat tim merah, asma Kiki kambuh! Aku harap kamu main, tanpa kamu, tim
kita akan kalah...” ujar Rahmi memelas.
“Ok,
aku akan main... Kayaknya Agni marah sama aku...” ujar Cakka.
“Kenapa?”
tanya Rahmi.
Cakka
menggelengkan kepala. Kemudian Cakka berlari menuju lapangan basket dan
permainan pun dilanjutkan. Pritttttttt. Cakka kembali mendrible bola dan Agni
mencoba untuk merebutnya. Tak sengaja kaki Cakka menginjak kaki Agni.
“Cakka,
Cakka, Cakka rebut lagi bolanya!” teriak Cahya dengan semangat.
“
Maaf Agni “ ucap Cakka
“
Nggak apa-apa.” jawab Agni
Permainan
pun berjalan kembali seperti semula..
Dan
akhirnya permainan pun berakhir.. Dan hasilnya 28 untuk tim biru dan 26 untuk
tim merah.
“
Cakka !!!” teriak seseorang yang berada di belakang Cakka. Ternyata dia adalah
Oik.
“Apa,
Ik? Eh, kamu udah baikan??” tanya Cakka.
“Udah,
lagian tadi nggak terlalu parah kok!” ujar Oik memastikan.
“Ehm...”
gumam Cakka.
“Apa
Ka? Eh, kamu ngeliat Agni nggak?” tanya Oik.
“Mungkin
dia lagi sama anak-anak basket tim merah...” ucap Cakka.
“Oh,
ya udah, aku duluan ya...” pamit Oik.
Sementara
itu, di taman belakang, Agni duduk menyendiri di bangku taman. Patton
menghampirinya dan duduk di sebelah Agni.
“Ag,
kamu kenapa?” tanya Patton.
“Nggak
kenapa-kenapa kok... “ ujar Agni.
“Kamu
sedih ya, karena tim basket kamu kalah?” tanya Patton.
“Ya
nggak lah, ini kan cuma tingkat sekolah, kalau tingkat Internasional, baru aku
sedih, malah kecewa. Lagian, aku cuma gantiin Kiki yang asmanya kambuh. Maaf
ya, aku yang harusnya jadi pendukung tim biru, malah jadi musuhnya... “ ucap
Agni.
“Udah
lah, lagian, niat kamu cuma mau nolongin tim merah kan?” tanya Patton.
Agni
mengangguk.
Patton,
sebenernya... Udah lah, forget it!, batin Agni dalam hati.
“Oh
ya, dari tadi, aku nggak liat Oik, kalau kamu ketemu sama dia, aku minta maaf
gitu ya, aku bener-bener nggak sengaja, waktu aku mau masukkin bola ke ring,
bolanya malah mantul, dan kena Oik...” ujar Agni menyesal.
“Ok...”
ujar Patton.
“Eh,
kita ke kantin yuk, aku laper...” ajak Agni.
“Sama...”
jawab Patton.
Keesokan
harinya...
“Agni...”
teriak Cakka.
“Apa?”
teriak Agni.
“Ag,
kamu marah ya?” tanya Cakka.
“Marah
kenapa?” tanya Agni pura-pura bingung.
“Ehm,
soal kemarin...” ucap Cakka.
Tiba-tiba,
Oik datang sambil membawa tiga buah tiket nonton konser musik di sekolahnya.
“Agni,
Cakka... Liat, aku punya tiket nonton konser. Aku punya tiga, kita nonton yuk!”
ujar Oik semangat.
“Ok...
Ag, kamu ikut kan?” tanya Cakka.
“Ajak
aja Debo atau Patton!” ucap Agni.
Agni
pergi meninggalkan Oik dan Cakka yang diam seribu bahasa. Agni berlari menuju
kelasnya. Oik dan Cakka mengejarnya. Tidak sengaja, Agni menginjak kulit pisang
dan akhirnya terpeleset jatuh. Kepala Agni mengeluarkan darah.
“Aw...”
ucap Agni kesakitan.
“Agni...”
teriak Oik.
“Ag,
kepala kamu...” ujar Cakka sambil memegang kepala Agni.
“Kita
anter ke UKS ya?” tanya Oik.
“Nggak
usah, aku bisa sendiri kok. Lagian, aku bukan Oik yang sedikit-sedikit
pingsan!” ujar Agni sambil bangun dan berjalan tertatih-tatih menuju UKS. Cakka
dan Oik berjalan di belakangnya.
“Aku
bilang nggak usah!” bentak Agni sambil mendorong Oik hingga terjatuh.
Cakka
mengulurkan tangannya kepada Oik. Melihat hal itu, Agni segera mempercepat
langkahnya.
“Ayo
kita susul Agni!” ajak Oik.
“Udah
lah, Oik. Kamu liat kan tadi sikap Agni, kalau kita susul dia sekarang, dia
akan berbuat yang lebih fatal dari ini.” tolak Cakka.
Sepulang
sekolah...
“Cak...”
ucap Oik.
“Apa,
Ik?” tanya Cakka.
“Sebenernya,
aku cuma mau bilang, kalau aku... “ ucap Oik.
“Kalau
kamu apa?” tanya Cakka semakin penasaran.
“Kalau
aku mau pindah ke Australia...” ujar Oik sedih.
“Hah?”
ujar Cakka bingung.
“Aku
mau sekolah di sana. Besok aku berangkat Ka... Besok aku mau pamitan sama murid
dan guru di sekolah ini.” ujar Oik.
“Kapan
kamu pulang? Semua orang pasti akan merindukan kamu. Kenapa kamu nggak bilang
dari dulu?” tanya Cakka.
“Aku
udah bilang nggak setuju sama mamapapa, aku nggak mau pindah. Aku nggak mau
ninggalin kalian semua. Dan aku pun pasti akan selalu merindukan kalian semua
di sini. Ini keputusan mamapapaku, kalau saja aku diperbolehkan untuk menolak,
tentu kesempatan itu nggak akan aku sia-siakan...” ucap Oik.
“Oik,
sebelum kamu pergi, ada sesuatu buat kamu... Ini...” ujar Cakka sambil
memberikan sebuah liontin kepada Oik.
“Apa
ini?” tanya Oik.
“Ini
liontin, nih aku juga punya pasangannya. Aku berharap, kamu akan selalu memakai
liontin ini, sebagai tanda persahabatan kita. Kalau memang kita harus berpisah,
kita akan terus saling mengingat selama liontin ini ada...” ucap Cakka sambil
menitikkan air mata, menangis.
“Ok,
aku janji.” ujar Oik.
“Sini,
biar aku bantu kamu buat pake liontin ini.” ucap Cakka.
Cakka
pun membantu Oik memakai liontinnya. Sementara itu, Agni keluar dari tempat
berlatih karate, ketika dia membuka pintu, dari kejauhan dia melihat Oik dan
Cakka.
“Cakka,
kalau aja di dunia ini nggak ada Oik, tentu aku nggak bakal sakit hati kayak
gini!” ujar Agni sambil berjalan meninggalkan sekolah.
Ketika
dia melewati gerbang, terlihat Patton
melambaikan tangannya. Agni membalasnya. Sementara, Oik memanggil Agni.
“Agni!”
teriak Oik.
Agni
menoleh sebentar terhadap Oik, kemudian menghampiri Patton.
“Ton,
kita pulang bareng yuk!” ajak Agni.
“Lho,
kita kan nggak searah, biasanya, kamu bareng sama Cakka dan Oik, mereka
kemana?” tanya Patton.
“Oh
iya, mereka udah pulang duluan kayaknya... Dah.” ujar Agni sambil menyetop
taksi dan pulang ke rumahnya.
“Agni...”
seseorang berteriak dan ternyata dia adalah Oik.
“Oik,
kamu belum pulang?” tanya Patton.
“Pulang?
Aku dari tadi sama Cakka nungguin Agni yang lagi kumpul karate...” ujar Oik.
“Baru
aja dia pulang naik taksi.” ucap Patton.
“Oh,
aku kira dia jajan di depan...” ujar Oik.
“Emangnya
kalian nggak ngeliat Agni, dia kan lewat gerbang juga?” tanya Patton.
“Iya,
kita liat, aku udah manggil, dia ngeliat kita juga, tapi dia langsung pergi.”
ujar Oik.
“Tapi,
dia bilang kalau kalian udah pulang duluan...” ujar Patton.
“Agni
kenapa ya?” tanya Oik pada dirinya sendiri.
“Ya
udah, kita pulang aja... Ton, duluan ya!” pamit Cakka.
“Ok...”
ujar Patton.
Keesokan
harinya, jam weker di kamar Cakka terus berbunyi, tapi sang pemilik tetap asyik
tertidur. Jam telah menunjukkan pukul tujuh pagi lewat lima belas menit, namun
Cakka belum bangun juga. Mengingat anaknya yang harus pergi ke sekolah, ibu
Cakka mencoba untuk membangunkan Cakka.
“Cakka...”
ujar ibu Cakka sambil membuka pintu kamar anaknya. Didapatinya anaknya sedang
tertidur pulas sambil memeluk boneka kesayangannya.
“Cakka,
bangun sayang...” ujar ibu Cakka sambil menepuk-nepuk badan Cakka, namun, Cakka
tetap terlelap.
Seseorang
membuka pintu kamar Cakka, dan ternyata, dia adalah kakak Cakka.
“Ibu...
Ibu lagi ngapain di kamar Cakka?” tanya kakak Cakka penasaran.
“Ibu
lagi bangunin Cakka, tapi dari tadi dia nggak bangun-bangun!” ujar ibu Cakka
“Ibu,
tenang aja kali, ini kan hari libur...” ujar kakak Cakka santai.
“Kamu
yang libur, sekolah adik kamu kan nggak libur...” ucap ibu Cakka.
“Oh
ya, dia udah kesiangan banget, biar aku aja yang bangunin dia, ibu nyiapin
sarapan aja...” saran kakak Cakka.
“Ok”
Kakak
Cakka mengambil segelas air dan menumpahkannya tepat di wajah Cakka.
“Eh,
banjir... Oik... Oik... Kamu dimana??” ucap Cakka secara setengah sadar.
“Siapa
Oik? Pacar lo?” tanya kakak Cakka.
“Hah??
Banjirnya nggak jadi, kak??” tanya Cakka secara sadar.
“Lo
dari tadi nggak bangun-bangun, sekarang udah jam tujuh lebih, lo nggak
sekolah??” ujar kakak Cakka.
“Hah??
Gimana dong, kak?? Hari ini perpisahan sama Oik, masa gue nggak hadir sih!!
Nggak bisa!! Gimana nih, Kak??” tanya Cakka panik dan bingung.
“Ya,
lo siap-siap cepetan lah!! Siapa sih Oik itu??” tanya kakak Cakka semakin
penasaran.
“Ada
aja...” ujar Cakka santai.
Cakka
segera menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Setelah dia berpakaian, dia
segera menuju ruang makan. Di sana, kakak Cakka heran melihat tingkah laku
adiknya.
“Ka,
lo nggak mandi dulu??” tanya kakak Cakka.
“Nggak...”
ujar Cakka.
“Kayaknya
lo juga nggak bakal makan...” ucap kakak Cakka menebak-nebak.
“Yap!
Dah...” pamit Cakka.
“Kenapa?”
tanya kakak Cakka.
“Demi
Oik!!” ujar Cakka sambil berlari menuju garasi dan menggenjot sepedanya hingga
sampai di sekolah.
Di
sekolah, gerbang sudah ditutup oleh satpam. Dia kecewa karena tidak bisa
bertemu dengan Oik yang akan pergi ke Australia. Namun, mungkin dia masih punya
kesempatan, Cakka akan menunggu Oik di depan gerbang sekolah sampai Oik keluar.
“Pak,
tahu kan yang namanya Oik?” tanya Cakka.
“Ya
tahu lah, dia kan siswi paling ngetrend di sekolah ini... Emangnya kenapa?”
tanya Pak Satpam.
“Dia
kan mau pindah, dia mau pamitan dulu di sekolah ini, apa dia udah keluar?”
tanya Cakka.
“Yah
Ade, udah kali, pas Ade dateng, Oik pergi...” ujar pak Satpam santai.
“Hah??
Kenapa Bapak nggak bilang dari tadi??” tanya Cakka cemas.
“Ade
nggak nanya...” ujar Pak Satpam.
“Dia
pergi ke arah mana?” tanya Cakka.
“Ke
arah bandara pastinya...” ujar Pak Satpam memastikan.
Cakka
segera menggenjot sepedanya dan pergi menuju bandara. Sekitar 300 meter dari
sekolah, dia telah menemukan jejak mobil yang ditumpangi Oik.
“Oik...”
teriak Cakka sekencang-kencangnya, berharap Oik mendengarnya.
Sementara
itu, Oik merasa bahwa Cakka ada di dekatnya.
“Oik...”
panggil ayah Oik.
“Iya
pah...” ucap Oik pelan.
“Tutup
jendelanya...” perintah ayah Oik.
“Tapi,
tadi kayaknya ada yang manggil Oik, suaranya kayak temen sekolah Oik...” ujar
Oik memastikan.
“Itu
cuma perasaan kamu aja, tutup Oik, nanti kamu masuk angin...” perintah mama
Oik.
“Iya,
ma...” ucap Oik.
Sementara
itu, Cakka terus memanggil Oik. Tiba-tiba, ban sepeda Cakka bocor dan sepedanya
oleng. Cakka mencoba untuk mengerem sepeda itu, namun, takdir berkata lain, rem
sepeda Cakka blong. Membuat dia dan sepedanya hilang kendali. Hingga ketika dia
melewati sebuah tikungan, sebuah mobil melaju kencang dan menabrak Cakka
beserta sepeda kesayangannya. Kepala Cakka terbentur cukup keras mengenai
bemper mobil. Sementara, tangan kanannya mungkin patah karena menahan tubuh
Cakka sebelum terbentur ke pinggir trotoar. Sebelum kecelakaan itu terjadi,
mobil yang ditumpangi Oik telah hilang ditelan tikungan.
Ketika
Oik sampai di bandara, dia merasa kalau telah terjadi sesuatu pada Cakka. Dia
meraba lehernya, dan ternyata, liontin dari Cakka tidak terpasang di lehernya.
Dia mencoba untuk mencarinya di sepanjang jalan yang dilewatinya di bandara.
Melihat anaknya yang bertingkah laku seperti itu, ayah Oik terheran-heran.
“Oik...”
panggil papa Oik.
“Iya
pah...” ucap Oik.
“Kamu
sedang apa??” tanya papa Oik.
“Oik
lagi nyari liontin dari temen Oik, kayaknya jatuh di sekitar sini...” ucap Oik
cemas.
“Udah
lah Oik, papa bisa beliin kamu yang baru, udah, sekarang kamu nunggu pesawat
kamu aja, nanti kamu ketinggalan lagi...” saran papa Oik.
“Tapi
pah...” ujar Oik.
“Udah
Oik, turuti kata-kata papa!” perintah papa Oik.
“Iya
pah!”
Oik
merasa hidupnya terbelenggu oleh ketatnya peraturan dari orang tuanya. Dia
seperti burung yang berada di dalam sangkar emas. Walau hidupnya dipenuhi
harta, tapi rasanya membosankan.
Sementara
itu, Cakka dibawa ke rumah sakit. Setelah Cakka diobati, dokter meyimpulkan
keadaan Cakka kepada orangtuanya.
“Pak,
Bu, anak bapak dan ibu ini, mengalami amnesia karena kecelakaan tersebut,
ingatannya akan pulih kembali dengan tidak membutuhkan waktu yang sebentar,
hanya beberapa memori ingatannya yang dapat dia ingat, sementara sebagian lagi
hilang dari otaknya. Kecuali jika ada keajaiban dari Tuhan. Contohnya, dia
hanya akan mengingat keluarganya dan sebagian dari teman-temannya.” ujar
dokter.
“Apa??
Dok, mana mungkin anak saya bisa amnesia, bagaimana kalau dia tidak mengingat
orang tua dan keluarganya??” ujar ibu Cakka panik.
“Kalau
saja dia tidak bisa mengingat memori tentang orang tua atau keluarganya, lambat
laun dia akan menemukan kehidupan yang baru, mungkin berbeda dari yang
sebelumnya...” ucap dokter.
“Selain
itu, bagaimana keadaan Cakka sekarang??” tanya ayah Cakka.
“Tangan
kanannya patah, sedangkan kedua kakinya terkilir cukup parah, namun tidak
sampai patah. Kemungkinan besar, selama dua minggu atau lebih, Cakka harus
menggunakan kursi roda...” ucap dokter.
Di
ruangan tempat Cakka dirawat, Cakka tergolek lemah, matanya berkunang-kunang.
Ketika seseorang membuka pintu, Cakka terbangun. Orang itu membawa sebuah
parsel buah-buahan dan meletakkannya di meja di samping ranjang rumah sakit.
Dan ternyata orang itu adalah kakak Cakka.
“Ka,
nih gue bawain parsel buah. Ada apel, jeruk, pir, anggur, banyak deh. Ini semua
kesukaan lo.” ucap kakak Cakka.
“Siapa
yang suka apel, jeruk, pir, anggur dan yang lainnya??” tanya Cakka kebingungan.
“Ya
lo lah, lo ini baru aja ngalamin kecelakaan, udah sok akting lagi... Lo lagi
nggak ekskul teater Cakka!” ujar kakak Cakka.
“Siapa
Cakka?” tanya Cakka.
“Aduh,
lo emang udah kronis penyakitnya ya! Jangan bercanda mulu deh... Eh, lo milih
makan nasi dulu atau makan buah??” tanya kakak Cakka sambil merapikan parsel
buahnya.
“Kamu
siapa sih??” tanya Cakka kebingungan.
“Heh,
sakit lo parah banget sih! Gue ini kakak lo...” ujar kakak Cakka yakin.
“Hah?
Kakak? Siapa aku?” tanya Cakka bingung.
“Cak,
lo sadar kan?” tanya kakak Cakka mulai cemas.
“Iya,
tapi aku nggak inget siapa aku?Cak? Ka? Cakka? Kacak? Siapa ya?” ujar Cakka
menebak-nebak.
“Duh,
lo amnesia ya?” tanya kakak Cakka.
“Amnesia?
Kenapa bisa amnesia?” tanya Cakka.
“Duh,
gue nanya malah balik nanya. Gini ya, tadi pagi, lo ketabrak. Terus, lo dibawa
ke rumah sakit, dan selanjutnya, gue nggak tau. Gue udah tau lo amnesia aja.”
ujar kakak Cakka.
“Eh,
kamu kan kakak aku, siapa nama kamu?” tanya Cakka.
“Elang.
Duh, jangan aku-kamu dong. Gue-lo juga bisa kan?” saran kakak Cakka.
“Aku-kamu
lebih baik.” ucap Cakka.
“Ok
deh. Aku bakal nurutin kamu.” ujar kakak Cakka mengalah.
“Eh,
aku punya ayah dan ibu?” tanya Cakka.
“Punya.”
ucap kakak Cakka sambil mengambil apel dari keranjang parsel apel buah dan
memakannya.
Gagang
pintu berputar, pintu terbuka. Tampak ayah dan ibu Cakka.
“Cakka...”
panggil ibu Cakka.
Cakka
melihat ibunya dengan heran. Secara spontan kakak Cakka merubah keadaan.
“Heh,
ini ibu kamu, ini ayah kamu. Orang tua kamu. Inget ya!” ucap kakak Cakka.
Cakka
menganggukkan kepalanya, sambil berkata, “aku harus panggill orang tua aku
dengan sebutan apa?”
Ayah
Cakka membelai rambut Cakka sambil berkata, “ayah dan ibu lah...Oh ya, kamu mau
mulai sekolah kapan?”
“Sekolah?
Memangnya aku kelas berapa sekarang?” tanya Cakka.
“Kelas
2 SMP...” ujar kakak Cakka.
“Di
mana aku sekolah?” tanya Cakka.
“Di
SMP Harapan Bangsa.” ujar kakak Cakka.
“Ehm,
temen! Aku punya temen kan? Siapa aja?” tanya Cakka.
“Setahu
aku, temen yang emang bener-bener deket sama kamu, Obiet, Agni, Debo, lumayan
banyak sih, cuma, sebelum kamu kecelakaan, kamu keliatan lagi tergila-gila gitu
deh sama seseorang. Sama... Sama siapa ya? Oi, oi, oi, gitu deh, kakak lupa...
Eh, kayaknya, kamu harus dirawat di sini seminggu deh...” ujar kakak Cakka.
“Seminggu??
Wah, aku bakalan kangen sama sekolah kayaknya...” ucap Cakka.
“Kamu
masih inget sekolah? Pelajaran juga masih inget? Temen-temen juga inget? Butuh
waktu seminggu lebih buat istirahat kamu...”
Seminggu
pun berlalu, Cakka sudah pulang dari rumah sakit. Cakka hampir mengingat semua
tentang dirinya, namun dia tidak mengingat Oik sama sekali. Pagi yang sangat
cerah, Cakka berjalan dengan menggunakan penyangga menuju taman di belakang
rumahnya. Dia duduk di ayunan, memandang kosong dengan tatapan yang hampa. Dia
mencoba untuk mengingat semua hal yang pernah diingatnya sebelum kecelakaan itu
terjadi. Tiba-tiba, seseorang mengagetkannya dari belakang.
“Dar...”
teriak seseorang.
“Siapa
kalian?” tanya Cakka.
“Hei,
kita semua temen sekolah kamu, aku Agni.” ujar seseorang yang ternyata Agni
itu.
“Agni?
Temen sekolah aku kan?” tanya Cakka.
“Cakka,
kok, tiba-tiba, kamu jadi pelupa kayak gini?” tanya Cahya.
“Ehm,
karena kecelakaan itu, aku jadi, duh... aw...” ucap Cakka sambil memegang
kepalanya.
“Cak,
kamu kenapa?” tanya Obiet cemas.
“Nggak,
kata keluargaku, aku amnesia, makanya aku lupa sama kalian.” ucap Cakka.
“Oh,
ya udah, aku Debo, yang pake kerudung ini, Rahmi, yang gayanya sedikit tomboi,
Agni, yang sipit-sipit ini, Abner, ini Obiet, yang item kulitnya nih, Patton,
ini Cahya, dan ini Irsyad. Inget ya...” ujar Debo sambil menunjuk temannya satu
persatu.
“Oh
ya, ada seseorang lagi yang harus kamu ingat, dia deket banget sama kamu. Waktu
dia mau pergi ke luar negeri, kamu ngejar dia pake sepeda, demi dia dan
kecelakaan itu terjadi. Namanya adalah O...” perkataan Rahmi terputus.
“Duh...”
ucap Cakka sambil memegang kepalanya.
“Cak,
kita ke dalam aja yuk...” ajak Agni.
Cakka
dan teman-temannya pun masuk ke dalam rumah.
Agni bersandar di sofa kamar Cakka. Debo membuka jendela dan Rahmi
memberi segelas air minum untuk Cakka. Cakka meneguknya perlahan.
“Cak,
kaki kamu masih dikasih gips? Patah?” tanya Agni.
“Nggak
patah sih, cuma terkilir, tapi parah. Kata dokter, gips aku udah boleh dibuka
kalau kaki aku udah nggak kerasa sakit atau udah seminggu lebih.” ucap Cakka.
“Cak,
gimana sih rasanya amnesia?” tanya Rahmi.
“Ya,
aku susah banget nginget semuanya, kalau dicoba sendiri, kepala aku malah jadi
sakit. Siapa sih yang mau amnesia? Aku pingin banget sekolah, cuma, kata
dokter, aku harus istirahat di rumah selama tiga hari, seminggu, bahkan bisa
lebih kalau kondisi aku memang masih lemah.” ucap Cakka.
“Ehm,
Cak, kamu di sekolah jadi kapten basket. Kamu jago banget mainnya. Tim kamu
selalu menang, walaupun ngelawan anak-anak kelas 3.” ujar Rahmi bangga.
“Oh
ya, apa aku juga bisa main basket kayak dulu?” tanya Cakka sedih.
“Emangnya,
Michael Jordan nggak bisa main basket lagi kalau amnesia?” tanya Irsyad.
“Mungkin
aja. Aku pernah baca cerpen, seorang pelukis hebat dan terkenal yang nggak bisa
ngelukis sama sekali setelah amnesia.” ujar Rahmi.
“Cerpen
kan fiktif, tapi masuk di akal.” ujar Abner.
“Berarti,
pernyataan aku tadi masuk di akal kan?” ucap Rahmi.
“Udah
deh jangan debat terus, nanti aku bakalan coba main basket, kalau kaki aku udah
sembuh.” ujar Cakka.
“Semoga
aja, Cakka bisa main basket lagi. Biar tim kelas kita punya kapten lagi.” ujar
Cahya bersemangat.
“Eh,
kita beli sate sapi yuk, aku traktir kalian semua deh, asal kalian mau nganter
aku.” ajak Cakka.
Ajakan
Cakka disambut oleh teman-temannya dengan satu kata dan dua huruf, “ok!”
Dua
hari kemudian...
“Hei
temen-temen!” teriak Cakka.
“Hei,
gips kamu udah dibuka?” tanya Agni.
“Liat
aja sendiri! Ya ampun, aku kira, aku bakal dikarantina seminggu lebih di rumah.
Eh, aku udah nggak sabar pingin main basket.” ucap Cakka bersemangat.
“Yuk,
nanti kita tanding sama kelas lain. Eh, bukannya kamu harus istirahat seminggu
di rumah?” tanya Obiet sambil memakan hamburgernya.
“Iya
sih, cuma aku maksa, lagian, aku udah baikan kok. Jangan sampai aku ketinggalan
banyak pelajaran.” ucap Cakka.
“Loh,
kamu kan amnesia, jadi, pelajaran yang lainnya apa kamu masih inget?” tanya
Agni sambil memainkan bola basketnya.
“Selama
aku sakit, kalau aku ngerasa baikan dikit, aku les privat di rumah sakit sama
di rumah. Home schooling dadakan gitu...” ujar Cakka tenang.
“Cak,
apa kamu masih inget sama O...” perkataan Debo terputus.
“Deb,
tadi, kamu dipanggil kan sama Pak Duta?” tanya Agni berpura-pura.
“Nggak.
Cak, apa kamu...” perkataan Debo terputus lagi.
“Nggak
Deb, gini, tadi aku lupa, aku ketemu gitu sama Pak Duta, dia nyuruh aku buat
manggil kamu ke ruangannya, nggak tau ada apa, cuma dari raut mukanya keliatan
ada yang penting banget. Udah deh, kamu ke ruangan Pak Duta, nanti ada apa-apa
lagi!” ujar Agni.
“Ni,
tadi aku barengan sama kamu, kita nggak ketemu Pak Duta kan?” ujar Obiet.
“Duh,
kamu tadi lagi ngobrol sama Irsyad...” ucap Agni.
“Irsyad?
Aku nggak...” perkataan Obiet terputus.
“Oh
ya Biet, kita juga disuruh sama Bu Okky, nggak tau disuruh apa. Tapi kita
sekarang harus ke ruangannya. Yuk Biet, dah semua...” pamit Agni sambil menarik
tangan Obiet.
“Ehm,
aku duluan juga ya, dah...” pamit Debo.
Sementara
itu, Obiet yang tangannya ditarik Agni segera melepaskan pegangan Agni.
“Ag,
kamu ngapain sih, pake acara ngebohong segala?” ujar Obiet kesal.
“Biet,
gini deh, sekarang, kita main jujur-jujuran aja ya. Kamu suka kan sama Oik?”
tanya Agni.
“Nggak.
Kamu apa-apaan sih?” ujar Obiet semakin kesal.
“Duh,
jujur deh, jangan pake bohong. Aku tau kok dari sikap kamu. Dan, jujur, aku
juga suka banget sama Cakka.” ujar Agni.
“Ok,
aku jujur, aku memang suka sama Oik. Terus, apa masalahnya?” tanya Obiet.
“Gini,
Cakka kan amnesia. Sampai sekarang pun, dia belum inget sama Oik, karena nggak
ada yang ingetin dia. Nah, tadi, Debo hampir aja cerita tentang Oik sama Cakka.
Bahaya kan?” ujar Agni
“Bahaya?
Justru, kalau Cakka bisa inget sama Oik, persahabatan kita nggak akan pernah
putus!” ucap Obiet.
“Obiet,
persahabatan sih persahabatan, cuma, ini masalahnya suka atau nggak, nah, kalau
Cakka inget tentang Oik, kamu nggak bakal punya jalan khusus buat urusan kamu
sama Oik. Begitu juga aku, aku nggak bakalan bisa deketin Cakka. Jadi, emang
kedengerannya serem sih, istilahnya, kita ngehapus memori Oik dari otak Cakka,
tapi ini jalan terbaik satu-satunya. Lambat laun, Cakka bakalan lupa total sama
Oik, dan jalanin kehidupan barunya sama Oik yang beda dari sebelumnya. Oik pun
lama-kelamaan akan menghapus harapannya pada Cakka. Gimana Biet?” ujar Agni
bersemangat.
“Agni,
imposible!” ujar Obiet sambil berjalan meninggalkan Agni.
“Biet,
please, kamu nggak mau kan, kamu harus patah hati seumur hidup? Aku juga nggak
mau, kalau salah satu di antara kita nggak kompak, rencana ini nggak bakalan
jalan. Cuma kita berdua yang tau. Kita bersikap sewajarnya aja, seolah-olah
semua ini bukan rencana yang kita atur sendiri. Please Biet...” ucap Agni
memohon.
“Agni,
aku nggak akan mau ngorbanin suatu persahabatan. Aku yakin, Cakka akan inget
tentang Oik, walau pun kamu ngehalangin dia. Dan aku nggak akan pernah merasa
tersiksa.” ujar Obiet.
“Biet...
please, ini nggak akan ngorbanin persahabatan kita. Tapi kalau ini nggak
terjadi, ini akan ngorbanin perasaan kita.” ucap Agni.
“Dan
kalau ini terjadi, ini hanya akan ngorbanin perasaan Cakka dan Oik. Sekarang,
aku udah terima kenyataan yang ada, bahwa aku nggak akan pernah dapetin hati
Oik.” ucap Obiet sambil berlari menuju kelasnya.
“Biet...”
teriak Agni.
Agni
pun melaksanakan rencananya sendirian. Satu setengah tahun berlalu, Cakka tetap
tidak bisa mengingat Oik, karena tidak ada yang bercerita tentang Oik untuk
Cakka. Cakka dan teman-temannya kini telah duduk di kelas 1 SMU. Pagi itu di
sekolah, seorang siswi turun dari mobil pribadinya dan berjalan melewati
koridor sekolah menuju kelasnya.
“Oik...”
teriak Rahmi.
“Rahmi,
aku kangen banget...” ucap Oik sambil memeluk Rahmi.
“Sama,
aku juga. Duh, nggak seru kalau nggak ada kamu!” ucap Rahmi.
“Ah,
biasa aja kali. Hei, aku pingin ketemu sama temen yang lainnya, mereka dimana?”
tanya Oik.
“Wah,
jam segini mereka nggak ada di satu tempat kali. Kamu mau nyari siapa sih?” tanya
Rahmi penasaran.
“Cakka!
Cakka dimana?” tanya Oik semangat.
“Ehm,
biasanya, dia ada di lapangan basket. Kamu cek dulu deh, kalau dia nggak ada di
sana, kamu cari aja di kantin.” ucap Rahmi.
“Hei,
aku pingin kumpul bareng kayak dulu, biasanya kalian ngumpul kapan, dimana?”
tanya Oik.
“Taman
belakang, pas istirahat biasanya.” ucap Rahmi.
“Ya
udah, dah...” pamit Oik sembari berlari menuju lapangan basket. Didapatinya
Cakka sedang duduk sendirian di bangku penonton. Oik berlari menghampiri Cakka
dan memeluknya.
“Cakka,
aku kangen banget....” ucap Oik.
“Ehm,
sorry, tapi jangan sambil meluk juga kan?”ucap Cakka sambil melepaskan pelukan
Oik.
“Cakka,
hari gini jangan bercanda deh!” ucap Oik.
“Bercanda?”
ucap Cakka lalu menggelengkan kepala dan pergi meninggalkan Oik yang diam
seribu bahasa. Oik mengejar Cakka.
“Cak,
kamu kenapa sih? Kok jadi cuek gini?” tanya Oik.
“Cuek?”
tanya Cakka bingung.
Seseorang
memanggil Cakka, dan ternyata dia adalah Agni.
“Cak...”
teriak Agni.
Cakka
berlari meninggalkan Oik dan menghampiri Agni.
“Apaan,
Ag?” tanya Cakka.
“Hei,
aku baru menang undian, hadiahnya, kita boleh makan di kantin sepuasnya.
Batasnya nyampe pulang sekolah lho, kita makan sekarang aja yuk! Sekalian kita
ajak temen-temen yang lainnya!” ajak Agni antusias.
“Ok,
tapi jam segini, mereka kocar-kacir nggak tau kemana!” ucap Cakka.
“Eh,
siapa tuh?” tanya Agni sambil menunjuk Oik yang berada jauh di depannya.
“Nggak
tau tuh, anak baru kali, dia tiba-tiba meluk aku, katanya kangen, orang aku
nggak kenal kok!” ucap Cakka kesal.
Oik?...
ucap Agni dalam hati.
“Ehm,
ada ya orang kayak gitu? Duh, sekarang, aku nyari temen-temen, kamu juga, aku
bagian sekolah sebelah barat, kamu bagian timur. Ok? Cari sampai dapet!”
perintah Agni.
“Ok...”
ucap Cakka.
Sementara
itu, Oik kebingungan atas perilaku Cakka. Oik pun mencari Rahmi. Di dapatinya
Rahmi sedang membaca sebuah buku di perpustakaan.
“Mi...”
ucap Oik pelan.
“Apa,
Ik? Cakkanya udah ketemu?” tanya Rahmi
tetap membaca.
“Mi,
Cakka kok berubah?” tanya Oik sedih.
“Berubah,
nggak sama sekali kok...” ucap Rahmi.
“Tapi,
tadi tuh Cakka kayak yang nggak kenal sama aku.” ucap Oik.
“Hah?”
ujar Rahmi sambil menutup bukunya.
“Kok
HAH sih, Mi?” tanya Oik bingung.
“Maaf
Oik, aku lupa. Cakka itu amnesia. Dia lupa sama segalanya. Akibat kecelakaan
itu!” ucap Rahmi.
“Amnesia?
Dia lupa sama segalanya? Kapan dia kecelakaan?” tanya Oik bertubi-tubi.
“Satu
setengah tahun yang lalu. Sekarang aku mau bilang tentang kamu sama Cakka.”
ujar Rahmi.
Rahmi
menarik tangan Oik untuk keluar dari perpustakaan. Tepat di depan pintu
perpustakaan, Cakka berdiri.
“Mi,
kita...” perkataan Cakka terputus.
“Cak...”
ucap Rahmi.
“Mi,
kamu ikut deh, kita bisa makan gratis di kantin, berkat Agni, yuk!” ajak Cakka.
“Nggak
ah, Cak aku cuma mau bilang...” perkataan Rahmi terputus.
“Duh
Mi, solider dong! Eh dia mau ikut, ok, rame-rame nih, dia anak baru?” tanya
Cakka.
“Cak,
dengerin aku dulu!” ujar Rahmi.
“Mi, aku pergi dulu ya!” pamit Oik sembari
meninggalkan Cakka dan Rahmi dan pergi menuju taman belakang.
“Cak,
kenapa kamu kayak gini sih? Kenapa kamu bisa amnesia? Padahal, aku nyangka,
kita bakalan seneng-seneng kayak dulu, tapi nyatanya nggak. Cak, aku cuma mau
bilang kalau aku tuh sayang sama kamu. Gimana aku bisa semakin sayang sama kamu
kalau kamu nggak pernah nganggep aku ada. Kalau aja aku nggak pindah ke
Australia, pasti harapan aku bakalan terjadi sekarang. Cak, aku berharap kamu
punya perasaan yang sama kayak aku. Tapi, sekarang kamu udah lupa tentang
segalanya.” ucap Oik sambil menitikkan air mata.
Tiba-tiba,
Obiet sudah berdiri mematung di samping Oik.
“Oik!
Kapan kamu pulang? Oik, kamu kenapa?” tanya Obiet.
“Nggak
kenapa-kenapa kok...” ucap Oik sambil mengahapus air matanya.
“Ik,
jangan bohong. Keliatan tuh dari muka kamu! Ik, kamu lagi ada masalah ya?”
tanya Obiet sambil memberikan sapu tangan kepada Oik.
Oik
mengangguk.
“Ik,
kamu sama kayak aku, aku lagi dilanda masalah juga. Terserah kamu mau dengerin
ini atau nggak. Perumpamaannya, aku suka banget sama seseorang, tapi orang itu
sama sekali nggak punya perasaan sama aku. Orang itu malah suka sama sahabat
aku sendiri. Aku masih naruh harapan sama dia, walaupun aku harus nahan sakit
hati selama ini.” ucap Obiet pelan.
“Biet,
siapa orang itu?” tanya Oik.
“Orang
itu... adalah... kamu, Ik!” ucap Obiet dengan menunduk malu.
“Biet,
maaf, aku nggak bisa tulus suka sama kamu, aku sayang banget sama kamu, sebagai
sahabat. Maaf Biet...” ujar Oik menitikkan air mata.
“Iya
Oik, aku tanya, kamu harus jawab jujur. Kamu suka kan sama Cakka?” tanya Obiet.
“Iya
Biet, maafin aku!” ucap Oik pelan.
“kamu
nggak usah minta maaf, Ik! Cinta itu nggak bisa dipaksain. Kamu harus dapetin
hatinya Cakka, kamu minta bantuan Rahmi, buat ngejelasin semua hal tentang kamu
sama Cakka.” pinta Obiet.
“Biet,
please, kamu jangan...” perkataan Oik terputus.
“Ik,
anggep aja ini salah satu permintaan dari aku.” ucap Obiet sambil berjalan
pelan meninggalkan Oik.
“Biet,
kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Aku nggak akan pernah lupain
kamu, Biet!” ucap Oik.
Obiet
berbalik dan tersenyum kecil. Obiet terus berjalan sampai akhirnya tiba-tiba
dia ambruk. Pingsan. Oik berlari menghampiri Obiet.
“Obiet...”
teriak Oik.
Ketika
Obiet membuka matanya, dia berada di ruangan yang tidak asing baginya, rumah
sakit.
“Biet,
kamu udah baikan kan?” tanya Oik cemas.
Obiet
menganggukkan kepalanya.
“Oik,
lakuin apa yang aku minta tadi.” ucap Obiet pelan.
“Cak...
kamu nggak inget sama sekali tentang Oik?” tanya Rahmi.
“Oik?
Siapa Oik?” tanya Cakka.
“Orang
yang ada di samping aku adalah Oik. Dia baru pulang dari Australia. Dia temen
kita sejak kelas 1 SD...” ucap Rahmi.
“Aku
nggak inget, tapi rasanya familiar banget. Ya udah, aku nggak inget sama
sekali, nggak ada di otak aku, aku jalanin aja kehidupan yang baru. Oik, namaku
Cakka.” ucap Cakka sambil mengulurkan tangannya dan Oik membalasnya sambil
menitikkan air matanya.
“Oik
kamu kok nangis?” tanya Cakka.
Oik
menutup matanya, berharap Cakka menghapus air matanya.
“Ag,
minta tissue dong!” pinta Cakka.
Agni
segera merogoh sakunya dan mengeluarkan tissuenya dan memberikannya kepada Oik.
“Nih,
Ik...” ucap Agni.
Oik
membuka matanya dan menerima tissue yang diberikan Agni dan berlari
meninggalkan ruangan tempat Obiet dirawat.
Dua
bulan pun berlalu, Oik tetap menjalani kehidupannya yang 3600
berbeda dari kehidupannya yang dulu bersama Cakka. Pagi itu, sebelum berangkat
sekolah, Oik membuka kotak perhiasan lamanya. Sebuah benda jatuh dari kotak
itu. Oik mengambilnya, dia merasa benda itu tidak asing baginya.
“Lho,
ini kan kalung dari Cakka, ternyata kalung ini nggak hilang. Aku bakal
tunjukkin ini sama Cakka, mungkin aja dia inget sama aku.” ucap Oik.
Di
sekolah, Oik mencari-cari Cakka dan ternyata Cakka sedang duduk bersama Debo.
“Cak...”
panggil Oik.
“Oik,
ada apa?” tanya Cakka.
“Cak,
kamu emang nggak bisa inget sama aku, tapi mungkin pas kamu liat ini, kamu
bakalan inget sama aku.” ucap Oik sambil menunjukkan kalung pemberian Cakka.
Ketika
Cakka melihat kalung yang ditunjukkan Oik, Cakka merasa ada sesuatu yang
merasuki otaknya yang mengingatkan Cakka pada sesuatu. Cakka memegang
kepalanya, dan pingsan. Teman-teman Cakka membawa Cakka ke rumah sakit, karena
Cakka tidak siuman sejak dia pingsan sampai setengah jam kemudian. Agni mencoba
menyusul Cakka ke rumah sakit, ketika dia melewati pintu gerbang, pak satpam
memanggilnya.
“Neng...”
teriak pak satpam.
“Apaan
Pak?” tanya Agni.
“Kenapa
tuh?” tanya pak satpam.
“Pingsan,
duh udah deh Pak, keadaannya lagi kacau nih!” ucap Agni panik.
“Dia
tuh yang dulu kecelakaan di deket tikungan kan? Katanya dia amnesia?” ucap pak
satpam.
“Ehm,
tunggu, berarti bapak tahu tentang kecelakaan itu, kenapa dia bisa ketabrak?”
tanya Agni.
“Dia
itu ngejar si Oik yang mau pergi ke bandara, eh, dia nggak hati-hati kali,
ketabrak deh, kayaknya parah, malah katanya nyampe amnesia gitu!” ucap pak
satpam.
Berarti
Oik penyebabnya!, marah Agni dalam hati.
“Ya
udah deh pak, makasih...” pamit Agni.
Di
rumah sakit, Cakka terbaring lemah, semua teman-temannya menunggu Cakka hingga
siuman. Tiba-tiba seseorang membuka pintu dan ternyata dia Agni.
“Hei,
maaf aku telat!” ucap Agni.
“Agni...”
ucap Oik.
“Ik,
asal kamu tahu, kenapa Cakka bisa kecelakaan, nyampe amnesia kayak gini, ini
semua gara-gara kamu. Dia ngejar kamu ke bandara, sampai akhirnya dia ketabrak
dan amnesia. Dan sekarang, kamu bikin Cakka kayak gini. Kamu hampir ngebunuh
orang tau!” ujar Agni kesal.
“Ag,
kamu kok kayak gitu sih? Aku nggak tau kalau Cakka ngejar aku ke bandara, aku
nggak tau kalau Cakka jadinya kayak gini!” ucap Oik.
“Alah,
jangan bohong kamu.” ucap Agni.
“Agni!”
ucap Cakka.
“Cakka...”
ucap Oik.
“Ag,
ini semua bukan salah Oik, aku yang ingin ngejar Oik ke bandara. Dan sekarang,
aku jadi inget sama Oik karena Oik. Kenapa sebelum Oik datang, kalian nggak ngasih
tau aku tentang Oik?” tanya Cakka.
“Maaf
Cak, ini semua aku yang atur, aku atur agar nggak ada seorang pun yang ngasih
tau kamu tentang Oik, maafin aku Cak!” ucap Agni sambil menitikkan air mata.
“Agni?”
ucap Debo.
“Sebenernya,
aku tuh suka sama kamu Cak, tapi kamu nggak pernah ada perasaan sama aku, hati
kamu cuma buat Oik!” ujar Agni sambil meninggalkan ruangan tempat Cakka
dirawat.
“Agni...”
panggil Obiet yang datang menghampiri Agni.
“Apa
Biet? Kamu bener Biet, rencana aku tuh sia-sia, dan sekarang, aku harus
ngorbanin perasaan dan persahabatan aku aja... Aku nyesel nggak nurutin
kata-kata kamu. Pasti mereka nggak bakalan maafin aku!” ucap Agni pesimis.
“Siapa
bilang, kita semua maafin kamu kok, Ag! Kita kan sahabat, dan kita sedang
menjalin suatu persahabatan.” ujar Cakka yang tiba-tiba berada di belakang
Agni.
“Iya
Ag, dan ini keputusan aku sama Cakka, kita bakalan jadi sahabat aja, biar
persahabatan kita selalu terjaga!” ujar Oik.
“Nggak
Ik, aku nggak mau ngelarang orang pacaran. Nggak apa-apa kok, aku rela...” ujar
Agni tulus.
Mereka
semua pun memeluk Agni dan berkata, “Kita bangga padamu, Agni!”
Hari
itu adalah hari yang paling indah bagi mereka. Persahabatan mereka tetap
terjaga, sampai mereka lulus SMU, bahkan sampai mereka memiliki keluarga
masing-masing. Oh, indahnya persahabatan... Seperti bintang yang selalu
bersinar karena kita selalu mengharapkannya, persahabatan pun akan selalu
bersinar karena kita selalu menjaganya.
“TAMAT”
Juli 2010
Don’t copy it!! XD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar