Kamis, 21 Maret 2013

Cerpen : Cinta di Antara Persahabatan


WARNING! Cerpen ini dibuat waktu jamannya idola cilik 2 masih ada, jadi wajar kalau pemain-pemain nya yah... baca dulu  aja sih :))))


 
                Cakka adalah seorang cowok yang menjadi idola di SMP Harapan Bangsa. Dan Oik, menjadi cewek dengan rating pertama yang menjadi idola di SMP Harapan Bangsa juga. Hal ini membuat Cakka dan Oik sering dijuluki dengan Raja dan Ratu sekolah. Tentu saja hal ini membuat beberapa orang cemburu, baik pada Cakka atau pun Oik.
                “Walau aku temen baik Cakka, tapi... tetep aja, aku cemburu sama dia... Oikku direbut sama dia...” ucap Obiet.
                “Well, aku juga temennya Oik, tapi, aku juga cemburu sama dia... Cakkaku berpaling dari aku...” ujar Cahya sambil mencomot pisang goreng yang baru saja dibelinya di kantin sekolah.
                “Udah guys, belum tentu mereka pacaran kan... Mungkin mereka sering digosipin jadian sama anak-anak karena mereka cowok dan cewek idola di sekolah ini...” ucap Debo menenangkan hati kedua temannya itu.
                Selain itu, Cakka adalah kapten basket terhebat dari kapten-kapten sebelumnya. Sedangkan Oik, dia adalah penyanyi yang hebat dan terkenal di seantero sekolah. Hari ini adalah hari pertama Oik bersekolah setelah liburan semester satu.
                “Hei, Ik...” ucap Agni sembari merangkul sahabatnya, Oik.
                “Hei... Gimana liburan kamu?” tanya Oik pada Agni.
                “Ya gitu deh... seru seru nggak...” ujar Agni sembari menghela napas panjang.
                “Suddd???” tanya Oik tidak mengerti.
                “Ya gitu, aku cuma liburan di rumah aja... Aku sih pinginnya surfing sama diving di pantai... Tapi mamapapa nggak ngijinin... Katanya, khawatir lah, takut tenggelem lah... Kan, aku baru aja selesai belajar surfing sama diving... Aku pingin nyoba-nyoba aja kemampuan aku yang satu ini... Oh, ya, kamu kemana?” ucap Agni dengan sedikit perasaan kecewa.
                “Aku ke rumah tanteku, di Bali... Ya, lumayan rame sih...” ucap Oik.
                Tiba-tiba, Cakka terlihat berlari-lari sambil membawa setumpuk buku. Dan tidak sengaja, dia menabrak Oik sampai mereka berdua terjatuh.
                “Aduh...” ucap Oik meringis kesakitan.
                “Sorry Ik, aku bener-bener nggak sengaja... Maafin aku ya, Ik!” ujar Cakka sambil menatap Oik.
                Tatapan matanya... bikin duniaku kebalik aja... Jadi ge-er nih... batin Oik
                “Ka, lo nggak apa-apa kan?” ucap Agni sambil membantu Cakka untuk berdiri.
                “Makasih...” ucap Cakka sambil membereskan buku-buku yang berserakan di lantai koridor sekolah mereka.
                “Biar aku bantu ya, Ka” ujar Oik.
                Ketika Oik sedang membereskan buku-buku yang dibawa Cakka, Agni terlihat tidak senang atas apa yang baru dilihatnya tadi. Dia pun memutuskan untuk meninggalkan Oik dan Cakka.
                “Cak, kamu kenapa sih, kok buru-buru amat?” tanya Oik pada Cakka.
                “Iya nih, pak Duta minta aku buat nganterin buku-buku ini ke ruang guru, sementara aku lagi ditunggu sama Debo, Obiet dan Patton. Makanya, aku buru-buru. Eh, maaf ya...” ucap Cakka sambil memandang wajah Oik.
                Duh, Cakka ganteng banget lagi, ngapain dia natap aku kayak gitu... Makin ge-er aku... batin Oik.
                “Oik, kamu masih sadar kan?” tanya Cakka cemas.
                “I-i-ya, kok jadi ngelamun ya? Ehm, biar aku aja deh yang nganterin buku-buku ini ke ruang guru...” pinta Oik.
                “Nggak usah, Ik... Makin ngerepotin aja...” tolak Cakka.
                “Udah lah Ka, nanti Obiet, Debo sama Patton, marah lagi... udah lah, nggak ngerepotin kok... Biar aku aja!” ujar Oik meyakinkan.
                Cakka kembali menatap wajah Oik. Kali ini, lebih serius lagi. Sangat serius, serius sekali.
                Dia mau ngapain ya?... Duh jangan-jangan... Nggak, nggak mungkin... Ge-er lagi aku.. batin Oik
                “Bulu mata kamu ada yang jatuh... Biar aku ambil...” ucap Cakka sambil menatap wajah Oik lebih serius lagi.
                “Nggak usah....” tolak Oik.
                “Haah.... kok kamu...” ucapan Cakka terputus.
                “Aku nganterin buku-buku ini dulu ya ke ruang guru... Dah...” ucap Oik sembari melambaikan tangannya.
                “Oik, besok jangan lupa ya, pertandingan basket...” ucap Cakka mengingatkan.
                “Sip...”
                Besoknya, Oik sudah tidak sabar melihat Cakka bermain basket. Oik, Cahya, Rahmi dan Agni berada di barisan pendukung tim biru, tim Cakka, Obiet, Debo, Patton dan yang lainnya. Sementara, di sisi lain, Sivia, Sila, Angel dan yang lainnya, berada di barisan pendukung dari tim merah, tim Kiki, Gabriel dan yang lainnya.
               
P r i i i i i i t t t t t t . . . . .
                Suara peluit menandakan pertandingan telah dimulai. Cakka mendrible bola dengan lincahnya. Tak seorang pun dapat merebutnya.
                “Cakka... You are the best...” teriak Oik penuh semangat.
                Cakka mengacungkan jempolnya kepada Oik dan Oik membalasnya dengan senyuman yang begitu manisnya.
                “You are the best... Cakka! Cakka... Cakka...” teriak Agni tak kalah semangat.
                Cakka tak membalas dukungan dari Agni, bahkan tak sedikit pun menoleh pada Agni. Entah kenapa, salah satu dari tim merah mendorong Cakka hingga dia terjatuh dan lututnya terlihat mengeluarkan darah. Dan, secara spontan Oik dan Agni berlari ke tengah lapang serta mengulurkan tangannya untuk membantu Cakka berdiri. Cakka pun meraih tangan Oik dan Agni. Oik dan Agni terlihat bingung seketika.
                “Biar adil... Ner, gantiin aku dong...” ucap Cakka sembari melepas kaos basket kesayangannya dan melemparkannya kepada Abner.
                Agni dan Oik pun mengantarkan Cakka ke ruang UKS.
                “Ni, tadi, kamu kok niru kata-kata aku?” tanya Oik hati-hati.
                “Jadi nggak boleh nih?” tanya Agni.
                “Ya... boleh aja sih...” ujar Oik.
                “Asal aku nggak sok caper sama Cakka... Gitu kan maksud kamu? Jadi kamu nggak suka kalau aku deket sama Cakka?” tanya Agni dengan kesal.
                “Hei, udah dong, kalian jangan bertengkar... Oik, kamu nggak apa-apa kan?” tanya Cakka dengan cemas.
                “Terus aja perhatian sama dia... Ka, kamu suka kan sama Oik? Jawab... aku lebih sakit hati lagi kalau kamu nggak jawab pertanyaan aku ini... Jawab...” pinta Agni dengan menitikkan air mata.
                Cakka terdiam sesaat. Tiba-tiba, Agni keluar UKS dan menuju ke lapangan. Dia berdiri di barisan pendukung tim merah. Tiba-tiba, asma Kiki kambuh.
                “Aduh, gimana nih? Nggak ada cadangan lagi” ucap Sivia cemas.
                “Biar aku aja yang gantiin...” ujar Agni.
                “Tapi, kamu kan cewek!” ucap Angel
                “Udah lah, daripada kita kalah!” saran Kiki.
                “Ok, mana baju basketnya?” tanya Agni.
                “Nih...” ucap Kiki sambil melemparkan kaos basketnya kepada Agni.
                Permain pun dilanjutkan, Agni berhasil merebut bola dan mendriblenya hingga menembakannya ke ring dan bola pun masuk. Point untuk tim merah. Bola kembali didrible oleh Agni hingga dia menembakannya ke arah ring. Namun, takdir berkata lain, bola basket itu memantul ke arah Oik, hingga dia kesakitan dan akhirnya pingsan.
                “Oik...” teriak Rahmi.
                Oik pun dibawa ke UKS dan ternyata di UKS ada Cakka yang sedang diobati oleh anak-anak PMR.
                “Oik?? Dia kenapa??” tanya Cakka cemas.
                “Kena bola, Ka!” ucap Rahmi.
                “Sama siapa?” tanya Cakka.
                “Ehm.. sama... Agni...”  ujar Rahmi.
                “Agni?? Dia main?? Bukannya Abner yang gantiin aku??” tanya Cakka bingung.
                “Dia main buat tim merah, asma Kiki kambuh! Aku harap kamu main, tanpa kamu, tim kita akan kalah...” ujar Rahmi memelas.
                “Ok, aku akan main... Kayaknya Agni marah sama aku...” ujar Cakka.
                “Kenapa?” tanya Rahmi.
                Cakka menggelengkan kepala. Kemudian Cakka berlari menuju lapangan basket dan permainan pun dilanjutkan. Pritttttttt. Cakka kembali mendrible bola dan Agni mencoba untuk merebutnya. Tak sengaja kaki Cakka menginjak kaki Agni.
                “Cakka, Cakka, Cakka rebut lagi bolanya!” teriak Cahya dengan semangat.
                “ Maaf Agni “ ucap Cakka
                “ Nggak apa-apa.” jawab Agni
                Permainan pun berjalan kembali seperti semula..
                Dan akhirnya permainan pun berakhir.. Dan hasilnya 28 untuk tim biru dan 26 untuk tim merah.
                “ Cakka !!!” teriak seseorang yang berada di belakang Cakka. Ternyata dia adalah Oik.
                “Apa, Ik? Eh, kamu udah baikan??” tanya Cakka.
                “Udah, lagian tadi nggak terlalu parah kok!” ujar Oik memastikan.
                “Ehm...” gumam Cakka.
                “Apa Ka? Eh, kamu ngeliat Agni nggak?” tanya Oik.
                “Mungkin dia lagi sama anak-anak basket tim merah...” ucap Cakka.
                “Oh, ya udah, aku duluan ya...” pamit Oik.
                Sementara itu, di taman belakang, Agni duduk menyendiri di bangku taman. Patton menghampirinya dan duduk di sebelah Agni.
                “Ag, kamu kenapa?” tanya Patton.
                “Nggak kenapa-kenapa kok... “ ujar Agni.
                “Kamu sedih ya, karena tim basket kamu kalah?” tanya Patton.
                “Ya nggak lah, ini kan cuma tingkat sekolah, kalau tingkat Internasional, baru aku sedih, malah kecewa. Lagian, aku cuma gantiin Kiki yang asmanya kambuh. Maaf ya, aku yang harusnya jadi pendukung tim biru, malah jadi musuhnya... “ ucap Agni.
                “Udah lah, lagian, niat kamu cuma mau nolongin tim merah kan?” tanya Patton.
                Agni mengangguk.
                Patton, sebenernya... Udah lah, forget it!, batin Agni dalam hati.
                “Oh ya, dari tadi, aku nggak liat Oik, kalau kamu ketemu sama dia, aku minta maaf gitu ya, aku bener-bener nggak sengaja, waktu aku mau masukkin bola ke ring, bolanya malah mantul, dan kena Oik...” ujar Agni menyesal.
                “Ok...” ujar Patton.
                “Eh, kita ke kantin yuk, aku laper...” ajak Agni.
                “Sama...” jawab Patton.

                Keesokan harinya...

                “Agni...” teriak Cakka.
                “Apa?” teriak Agni.
                “Ag, kamu marah ya?” tanya Cakka.
                “Marah kenapa?” tanya Agni pura-pura bingung.
                “Ehm, soal kemarin...” ucap Cakka.
                Tiba-tiba, Oik datang sambil membawa tiga buah tiket nonton konser musik di sekolahnya.
                “Agni, Cakka... Liat, aku punya tiket nonton konser. Aku punya tiga, kita nonton yuk!” ujar Oik semangat.
                “Ok... Ag, kamu ikut kan?” tanya Cakka.
                “Ajak aja Debo atau Patton!” ucap Agni.
                Agni pergi meninggalkan Oik dan Cakka yang diam seribu bahasa. Agni berlari menuju kelasnya. Oik dan Cakka mengejarnya. Tidak sengaja, Agni menginjak kulit pisang dan akhirnya terpeleset jatuh. Kepala Agni mengeluarkan darah.
                “Aw...” ucap Agni kesakitan.
                “Agni...” teriak Oik.
                “Ag, kepala kamu...” ujar Cakka sambil memegang kepala Agni.
                “Kita anter ke UKS ya?” tanya Oik.
                “Nggak usah, aku bisa sendiri kok. Lagian, aku bukan Oik yang sedikit-sedikit pingsan!” ujar Agni sambil bangun dan berjalan tertatih-tatih menuju UKS. Cakka dan Oik berjalan di belakangnya.
                “Aku bilang nggak usah!” bentak Agni sambil mendorong Oik hingga terjatuh.
                Cakka mengulurkan tangannya kepada Oik. Melihat hal itu, Agni segera mempercepat langkahnya.
                “Ayo kita susul Agni!” ajak Oik.
                “Udah lah, Oik. Kamu liat kan tadi sikap Agni, kalau kita susul dia sekarang, dia akan berbuat yang lebih fatal dari ini.” tolak Cakka.

                Sepulang sekolah...

                “Cak...” ucap Oik.
                “Apa, Ik?” tanya Cakka.
                “Sebenernya, aku cuma mau bilang, kalau aku... “ ucap Oik.
                “Kalau kamu apa?” tanya Cakka semakin penasaran.
                “Kalau aku mau pindah ke Australia...” ujar Oik sedih.
                “Hah?” ujar Cakka bingung.
                “Aku mau sekolah di sana. Besok aku berangkat Ka... Besok aku mau pamitan sama murid dan guru di sekolah ini.” ujar Oik.
                “Kapan kamu pulang? Semua orang pasti akan merindukan kamu. Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?” tanya Cakka.
               
                “Aku udah bilang nggak setuju sama mamapapa, aku nggak mau pindah. Aku nggak mau ninggalin kalian semua. Dan aku pun pasti akan selalu merindukan kalian semua di sini. Ini keputusan mamapapaku, kalau saja aku diperbolehkan untuk menolak, tentu kesempatan itu nggak akan aku sia-siakan...” ucap Oik.
                “Oik, sebelum kamu pergi, ada sesuatu buat kamu... Ini...” ujar Cakka sambil memberikan sebuah liontin kepada Oik.
                “Apa ini?” tanya Oik.
                “Ini liontin, nih aku juga punya pasangannya. Aku berharap, kamu akan selalu memakai liontin ini, sebagai tanda persahabatan kita. Kalau memang kita harus berpisah, kita akan terus saling mengingat selama liontin ini ada...” ucap Cakka sambil menitikkan air mata, menangis.
                “Ok, aku janji.” ujar Oik.
                “Sini, biar aku bantu kamu buat pake liontin ini.” ucap Cakka.
                Cakka pun membantu Oik memakai liontinnya. Sementara itu, Agni keluar dari tempat berlatih karate, ketika dia membuka pintu, dari kejauhan dia melihat Oik dan Cakka.
                “Cakka, kalau aja di dunia ini nggak ada Oik, tentu aku nggak bakal sakit hati kayak gini!” ujar Agni sambil berjalan meninggalkan sekolah.
                Ketika   dia melewati gerbang, terlihat Patton melambaikan tangannya. Agni membalasnya. Sementara, Oik memanggil Agni.
                “Agni!” teriak Oik.
                Agni menoleh sebentar terhadap Oik, kemudian menghampiri Patton.
                “Ton, kita pulang bareng yuk!” ajak Agni.
                “Lho, kita kan nggak searah, biasanya, kamu bareng sama Cakka dan Oik, mereka kemana?” tanya Patton.
                “Oh iya, mereka udah pulang duluan kayaknya... Dah.” ujar Agni sambil menyetop taksi dan pulang ke rumahnya.
                “Agni...” seseorang berteriak dan ternyata dia adalah Oik.
                “Oik, kamu belum pulang?” tanya Patton.
                “Pulang? Aku dari tadi sama Cakka nungguin Agni yang lagi kumpul karate...” ujar Oik.
                “Baru aja dia pulang naik taksi.” ucap Patton.
                “Oh, aku kira dia jajan di depan...” ujar Oik.
                “Emangnya kalian nggak ngeliat Agni, dia kan lewat gerbang juga?” tanya Patton.
                “Iya, kita liat, aku udah manggil, dia ngeliat kita juga, tapi dia langsung pergi.” ujar Oik.
                “Tapi, dia bilang kalau kalian udah pulang duluan...” ujar Patton.
                “Agni kenapa ya?” tanya Oik pada dirinya sendiri.
                “Ya udah, kita pulang aja... Ton, duluan ya!” pamit Cakka.
                “Ok...” ujar Patton.
                Keesokan harinya, jam weker di kamar Cakka terus berbunyi, tapi sang pemilik tetap asyik tertidur. Jam telah menunjukkan pukul tujuh pagi lewat lima belas menit, namun Cakka belum bangun juga. Mengingat anaknya yang harus pergi ke sekolah, ibu Cakka mencoba untuk membangunkan Cakka.
                “Cakka...” ujar ibu Cakka sambil membuka pintu kamar anaknya. Didapatinya anaknya sedang tertidur pulas sambil memeluk boneka kesayangannya.
                “Cakka, bangun sayang...” ujar ibu Cakka sambil menepuk-nepuk badan Cakka, namun, Cakka tetap terlelap.
                Seseorang membuka pintu kamar Cakka, dan ternyata, dia adalah kakak Cakka.
                “Ibu... Ibu lagi ngapain di kamar Cakka?” tanya kakak Cakka penasaran.
                “Ibu lagi bangunin Cakka, tapi dari tadi dia nggak bangun-bangun!” ujar ibu Cakka
                “Ibu, tenang aja kali, ini kan hari libur...” ujar kakak Cakka santai.
                “Kamu yang libur, sekolah adik kamu kan nggak libur...” ucap ibu Cakka.
                “Oh ya, dia udah kesiangan banget, biar aku aja yang bangunin dia, ibu nyiapin sarapan aja...” saran kakak Cakka.
                “Ok”
                Kakak Cakka mengambil segelas air dan menumpahkannya tepat di wajah Cakka.
                “Eh, banjir... Oik... Oik... Kamu dimana??” ucap Cakka secara setengah sadar.
                “Siapa Oik? Pacar lo?” tanya kakak Cakka.
                “Hah?? Banjirnya nggak jadi, kak??” tanya Cakka secara sadar.
                “Lo dari tadi nggak bangun-bangun, sekarang udah jam tujuh lebih, lo nggak sekolah??” ujar kakak Cakka.
                “Hah?? Gimana dong, kak?? Hari ini perpisahan sama Oik, masa gue nggak hadir sih!! Nggak bisa!! Gimana nih, Kak??” tanya Cakka panik dan bingung.
                “Ya, lo siap-siap cepetan lah!! Siapa sih Oik itu??” tanya kakak Cakka semakin penasaran.
                “Ada aja...” ujar Cakka santai.
                Cakka segera menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Setelah dia berpakaian, dia segera menuju ruang makan. Di sana, kakak Cakka heran melihat tingkah laku adiknya.
                “Ka, lo nggak mandi dulu??” tanya kakak Cakka.
                “Nggak...” ujar Cakka.
                “Kayaknya lo juga nggak bakal makan...” ucap kakak Cakka menebak-nebak.
                “Yap! Dah...” pamit Cakka.
                “Kenapa?” tanya kakak Cakka.
                “Demi Oik!!” ujar Cakka sambil berlari menuju garasi dan menggenjot sepedanya hingga sampai di sekolah.
                Di sekolah, gerbang sudah ditutup oleh satpam. Dia kecewa karena tidak bisa bertemu dengan Oik yang akan pergi ke Australia. Namun, mungkin dia masih punya kesempatan, Cakka akan menunggu Oik di depan gerbang sekolah sampai Oik keluar.
                “Pak, tahu kan yang namanya Oik?” tanya Cakka.
                “Ya tahu lah, dia kan siswi paling ngetrend di sekolah ini... Emangnya kenapa?” tanya Pak Satpam.
                “Dia kan mau pindah, dia mau pamitan dulu di sekolah ini, apa dia udah keluar?” tanya Cakka.
                “Yah Ade, udah kali, pas Ade dateng, Oik pergi...” ujar pak Satpam santai.
                “Hah?? Kenapa Bapak nggak bilang dari tadi??” tanya Cakka cemas.
                “Ade nggak nanya...” ujar Pak Satpam.
                “Dia pergi ke arah mana?” tanya Cakka.
                “Ke arah bandara pastinya...” ujar Pak Satpam memastikan.
                Cakka segera menggenjot sepedanya dan pergi menuju bandara. Sekitar 300 meter dari sekolah, dia telah menemukan jejak mobil yang ditumpangi Oik.
                “Oik...” teriak Cakka sekencang-kencangnya, berharap Oik mendengarnya.
                Sementara itu, Oik merasa bahwa Cakka ada di dekatnya.
                “Oik...” panggil ayah Oik.
                “Iya pah...” ucap Oik pelan.
                “Tutup jendelanya...” perintah ayah Oik.
                “Tapi, tadi kayaknya ada yang manggil Oik, suaranya kayak temen sekolah Oik...” ujar Oik memastikan.
                “Itu cuma perasaan kamu aja, tutup Oik, nanti kamu masuk angin...” perintah mama Oik.
                “Iya, ma...” ucap Oik.
                Sementara itu, Cakka terus memanggil Oik. Tiba-tiba, ban sepeda Cakka bocor dan sepedanya oleng. Cakka mencoba untuk mengerem sepeda itu, namun, takdir berkata lain, rem sepeda Cakka blong. Membuat dia dan sepedanya hilang kendali. Hingga ketika dia melewati sebuah tikungan, sebuah mobil melaju kencang dan menabrak Cakka beserta sepeda kesayangannya. Kepala Cakka terbentur cukup keras mengenai bemper mobil. Sementara, tangan kanannya mungkin patah karena menahan tubuh Cakka sebelum terbentur ke pinggir trotoar. Sebelum kecelakaan itu terjadi, mobil yang ditumpangi Oik telah hilang ditelan tikungan.
                Ketika Oik sampai di bandara, dia merasa kalau telah terjadi sesuatu pada Cakka. Dia meraba lehernya, dan ternyata, liontin dari Cakka tidak terpasang di lehernya. Dia mencoba untuk mencarinya di sepanjang jalan yang dilewatinya di bandara. Melihat anaknya yang bertingkah laku seperti itu, ayah Oik terheran-heran.
                “Oik...” panggil papa Oik.
                “Iya pah...” ucap Oik.
                “Kamu sedang apa??” tanya papa Oik.
                “Oik lagi nyari liontin dari temen Oik, kayaknya jatuh di sekitar sini...” ucap Oik cemas.
                “Udah lah Oik, papa bisa beliin kamu yang baru, udah, sekarang kamu nunggu pesawat kamu aja, nanti kamu ketinggalan lagi...” saran papa Oik.
                “Tapi pah...” ujar Oik.
                “Udah Oik, turuti kata-kata papa!” perintah papa Oik.
                “Iya pah!”
                Oik merasa hidupnya terbelenggu oleh ketatnya peraturan dari orang tuanya. Dia seperti burung yang berada di dalam sangkar emas. Walau hidupnya dipenuhi harta, tapi rasanya membosankan.
                Sementara itu, Cakka dibawa ke rumah sakit. Setelah Cakka diobati, dokter meyimpulkan keadaan Cakka kepada orangtuanya.
                “Pak, Bu, anak bapak dan ibu ini, mengalami amnesia karena kecelakaan tersebut, ingatannya akan pulih kembali dengan tidak membutuhkan waktu yang sebentar, hanya beberapa memori ingatannya yang dapat dia ingat, sementara sebagian lagi hilang dari otaknya. Kecuali jika ada keajaiban dari Tuhan. Contohnya, dia hanya akan mengingat keluarganya dan sebagian dari teman-temannya.” ujar dokter.
                “Apa?? Dok, mana mungkin anak saya bisa amnesia, bagaimana kalau dia tidak mengingat orang tua dan keluarganya??” ujar ibu Cakka panik.
                “Kalau saja dia tidak bisa mengingat memori tentang orang tua atau keluarganya, lambat laun dia akan menemukan kehidupan yang baru, mungkin berbeda dari yang sebelumnya...” ucap dokter.
                “Selain itu, bagaimana keadaan Cakka sekarang??” tanya ayah Cakka.
                “Tangan kanannya patah, sedangkan kedua kakinya terkilir cukup parah, namun tidak sampai patah. Kemungkinan besar, selama dua minggu atau lebih, Cakka harus menggunakan kursi roda...” ucap dokter.
                Di ruangan tempat Cakka dirawat, Cakka tergolek lemah, matanya berkunang-kunang. Ketika seseorang membuka pintu, Cakka terbangun. Orang itu membawa sebuah parsel buah-buahan dan meletakkannya di meja di samping ranjang rumah sakit. Dan ternyata orang itu adalah kakak Cakka.
                “Ka, nih gue bawain parsel buah. Ada apel, jeruk, pir, anggur, banyak deh. Ini semua kesukaan lo.” ucap kakak Cakka.
                “Siapa yang suka apel, jeruk, pir, anggur dan yang lainnya??” tanya Cakka kebingungan.
                “Ya lo lah, lo ini baru aja ngalamin kecelakaan, udah sok akting lagi... Lo lagi nggak ekskul teater Cakka!” ujar kakak Cakka.
                “Siapa Cakka?” tanya Cakka.
                “Aduh, lo emang udah kronis penyakitnya ya! Jangan bercanda mulu deh... Eh, lo milih makan nasi dulu atau makan buah??” tanya kakak Cakka sambil merapikan parsel buahnya.
                “Kamu siapa sih??” tanya Cakka kebingungan.
                “Heh, sakit lo parah banget sih! Gue ini kakak lo...” ujar kakak Cakka yakin.
                “Hah? Kakak? Siapa aku?” tanya Cakka bingung.
                “Cak, lo sadar kan?” tanya kakak Cakka mulai cemas.
                “Iya, tapi aku nggak inget siapa aku?Cak? Ka? Cakka? Kacak? Siapa ya?” ujar Cakka menebak-nebak.
                “Duh, lo amnesia ya?” tanya kakak Cakka.
                “Amnesia? Kenapa bisa amnesia?” tanya Cakka.
                “Duh, gue nanya malah balik nanya. Gini ya, tadi pagi, lo ketabrak. Terus, lo dibawa ke rumah sakit, dan selanjutnya, gue nggak tau. Gue udah tau lo amnesia aja.” ujar kakak Cakka.
                “Eh, kamu kan kakak aku, siapa nama kamu?” tanya Cakka.
                “Elang. Duh, jangan aku-kamu dong. Gue-lo juga bisa kan?” saran kakak Cakka.
                “Aku-kamu lebih baik.” ucap Cakka.
                “Ok deh. Aku bakal nurutin kamu.” ujar kakak Cakka mengalah.
                “Eh, aku punya ayah dan ibu?” tanya Cakka.
                “Punya.” ucap kakak Cakka sambil mengambil apel dari keranjang parsel apel buah dan memakannya.
                Gagang pintu berputar, pintu terbuka. Tampak ayah dan ibu Cakka.
                “Cakka...” panggil ibu Cakka.
                Cakka melihat ibunya dengan heran. Secara spontan kakak Cakka merubah keadaan.
                “Heh, ini ibu kamu, ini ayah kamu. Orang tua kamu. Inget ya!” ucap kakak Cakka.
                Cakka menganggukkan kepalanya, sambil berkata, “aku harus panggill orang tua aku dengan sebutan apa?”
                Ayah Cakka membelai rambut Cakka sambil berkata, “ayah dan ibu lah...Oh ya, kamu mau mulai sekolah kapan?”
                “Sekolah? Memangnya aku kelas berapa sekarang?” tanya Cakka.
                “Kelas 2 SMP...” ujar kakak Cakka.
                “Di mana aku sekolah?” tanya Cakka.
                “Di SMP Harapan Bangsa.” ujar kakak Cakka.
                “Ehm, temen! Aku punya temen kan? Siapa aja?” tanya Cakka.
                “Setahu aku, temen yang emang bener-bener deket sama kamu, Obiet, Agni, Debo, lumayan banyak sih, cuma, sebelum kamu kecelakaan, kamu keliatan lagi tergila-gila gitu deh sama seseorang. Sama... Sama siapa ya? Oi, oi, oi, gitu deh, kakak lupa... Eh, kayaknya, kamu harus dirawat di sini seminggu deh...” ujar kakak Cakka.
                “Seminggu?? Wah, aku bakalan kangen sama sekolah kayaknya...” ucap Cakka.
                “Kamu masih inget sekolah? Pelajaran juga masih inget? Temen-temen juga inget? Butuh waktu seminggu lebih buat istirahat kamu...”
                Seminggu pun berlalu, Cakka sudah pulang dari rumah sakit. Cakka hampir mengingat semua tentang dirinya, namun dia tidak mengingat Oik sama sekali. Pagi yang sangat cerah, Cakka berjalan dengan menggunakan penyangga menuju taman di belakang rumahnya. Dia duduk di ayunan, memandang kosong dengan tatapan yang hampa. Dia mencoba untuk mengingat semua hal yang pernah diingatnya sebelum kecelakaan itu terjadi. Tiba-tiba, seseorang mengagetkannya dari belakang.
                “Dar...” teriak seseorang.
                “Siapa kalian?” tanya Cakka.
                “Hei, kita semua temen sekolah kamu, aku Agni.” ujar seseorang yang ternyata Agni itu.
                “Agni? Temen sekolah aku kan?” tanya Cakka.
                “Cakka, kok, tiba-tiba, kamu jadi pelupa kayak gini?” tanya Cahya.
                “Ehm, karena kecelakaan itu, aku jadi, duh... aw...” ucap Cakka sambil memegang kepalanya.
                “Cak, kamu kenapa?” tanya Obiet cemas.
                “Nggak, kata keluargaku, aku amnesia, makanya aku lupa sama kalian.” ucap Cakka.
                “Oh, ya udah, aku Debo, yang pake kerudung ini, Rahmi, yang gayanya sedikit tomboi, Agni, yang sipit-sipit ini, Abner, ini Obiet, yang item kulitnya nih, Patton, ini Cahya, dan ini Irsyad. Inget ya...” ujar Debo sambil menunjuk temannya satu persatu.
                “Oh ya, ada seseorang lagi yang harus kamu ingat, dia deket banget sama kamu. Waktu dia mau pergi ke luar negeri, kamu ngejar dia pake sepeda, demi dia dan kecelakaan itu terjadi. Namanya adalah O...” perkataan Rahmi terputus.
                “Duh...” ucap Cakka sambil memegang kepalanya.
                “Cak, kita ke dalam aja yuk...” ajak Agni.
                Cakka dan teman-temannya pun masuk ke dalam rumah.  Agni bersandar di sofa kamar Cakka. Debo membuka jendela dan Rahmi memberi segelas air minum untuk Cakka. Cakka meneguknya perlahan.
                “Cak, kaki kamu masih dikasih gips? Patah?” tanya Agni.
                “Nggak patah sih, cuma terkilir, tapi parah. Kata dokter, gips aku udah boleh dibuka kalau kaki aku udah nggak kerasa sakit atau udah seminggu lebih.” ucap Cakka.
                “Cak, gimana sih rasanya amnesia?” tanya Rahmi.
                “Ya, aku susah banget nginget semuanya, kalau dicoba sendiri, kepala aku malah jadi sakit. Siapa sih yang mau amnesia? Aku pingin banget sekolah, cuma, kata dokter, aku harus istirahat di rumah selama tiga hari, seminggu, bahkan bisa lebih kalau kondisi aku memang masih lemah.” ucap Cakka.
                “Ehm, Cak, kamu di sekolah jadi kapten basket. Kamu jago banget mainnya. Tim kamu selalu menang, walaupun ngelawan anak-anak kelas 3.” ujar Rahmi bangga.
                “Oh ya, apa aku juga bisa main basket kayak dulu?” tanya Cakka sedih.
                “Emangnya, Michael Jordan nggak bisa main basket lagi kalau amnesia?” tanya Irsyad.
                “Mungkin aja. Aku pernah baca cerpen, seorang pelukis hebat dan terkenal yang nggak bisa ngelukis sama sekali setelah amnesia.” ujar Rahmi.
                “Cerpen kan fiktif, tapi masuk di akal.” ujar Abner.
                “Berarti, pernyataan aku tadi masuk di akal kan?” ucap Rahmi.
                “Udah deh jangan debat terus, nanti aku bakalan coba main basket, kalau kaki aku udah sembuh.” ujar Cakka.
                “Semoga aja, Cakka bisa main basket lagi. Biar tim kelas kita punya kapten lagi.” ujar Cahya bersemangat.
                “Eh, kita beli sate sapi yuk, aku traktir kalian semua deh, asal kalian mau nganter aku.” ajak Cakka.
                Ajakan Cakka disambut oleh teman-temannya dengan satu kata dan dua huruf, “ok!”

                Dua hari kemudian...

                “Hei temen-temen!” teriak Cakka.
                “Hei, gips kamu udah dibuka?” tanya Agni.
                “Liat aja sendiri! Ya ampun, aku kira, aku bakal dikarantina seminggu lebih di rumah. Eh, aku udah nggak sabar pingin main basket.” ucap Cakka bersemangat.
                “Yuk, nanti kita tanding sama kelas lain. Eh, bukannya kamu harus istirahat seminggu di rumah?” tanya Obiet sambil memakan hamburgernya.
                “Iya sih, cuma aku maksa, lagian, aku udah baikan kok. Jangan sampai aku ketinggalan banyak pelajaran.” ucap Cakka.
                “Loh, kamu kan amnesia, jadi, pelajaran yang lainnya apa kamu masih inget?” tanya Agni sambil memainkan bola basketnya.
                “Selama aku sakit, kalau aku ngerasa baikan dikit, aku les privat di rumah sakit sama di rumah. Home schooling dadakan gitu...” ujar Cakka tenang.
                “Cak, apa kamu masih inget sama O...” perkataan Debo terputus.
                “Deb, tadi, kamu dipanggil kan sama Pak Duta?” tanya Agni berpura-pura.
                “Nggak. Cak, apa kamu...” perkataan Debo terputus lagi.
                “Nggak Deb, gini, tadi aku lupa, aku ketemu gitu sama Pak Duta, dia nyuruh aku buat manggil kamu ke ruangannya, nggak tau ada apa, cuma dari raut mukanya keliatan ada yang penting banget. Udah deh, kamu ke ruangan Pak Duta, nanti ada apa-apa lagi!” ujar Agni.
                “Ni, tadi aku barengan sama kamu, kita nggak ketemu Pak Duta kan?” ujar Obiet.
                “Duh, kamu tadi lagi ngobrol sama Irsyad...” ucap Agni.
                “Irsyad? Aku nggak...” perkataan Obiet terputus.
                “Oh ya Biet, kita juga disuruh sama Bu Okky, nggak tau disuruh apa. Tapi kita sekarang harus ke ruangannya. Yuk Biet, dah semua...” pamit Agni sambil menarik tangan Obiet.
                “Ehm, aku duluan juga ya, dah...” pamit Debo.
                Sementara itu, Obiet yang tangannya ditarik Agni segera melepaskan pegangan Agni.
                “Ag, kamu ngapain sih, pake acara ngebohong segala?” ujar Obiet kesal.
                “Biet, gini deh, sekarang, kita main jujur-jujuran aja ya. Kamu suka kan sama Oik?” tanya Agni.
                “Nggak. Kamu apa-apaan sih?” ujar Obiet semakin kesal.
                “Duh, jujur deh, jangan pake bohong. Aku tau kok dari sikap kamu. Dan, jujur, aku juga suka banget sama Cakka.” ujar Agni.
                “Ok, aku jujur, aku memang suka sama Oik. Terus, apa masalahnya?” tanya Obiet.
                “Gini, Cakka kan amnesia. Sampai sekarang pun, dia belum inget sama Oik, karena nggak ada yang ingetin dia. Nah, tadi, Debo hampir aja cerita tentang Oik sama Cakka. Bahaya kan?” ujar Agni
                “Bahaya? Justru, kalau Cakka bisa inget sama Oik, persahabatan kita nggak akan pernah putus!” ucap Obiet.
                “Obiet, persahabatan sih persahabatan, cuma, ini masalahnya suka atau nggak, nah, kalau Cakka inget tentang Oik, kamu nggak bakal punya jalan khusus buat urusan kamu sama Oik. Begitu juga aku, aku nggak bakalan bisa deketin Cakka. Jadi, emang kedengerannya serem sih, istilahnya, kita ngehapus memori Oik dari otak Cakka, tapi ini jalan terbaik satu-satunya. Lambat laun, Cakka bakalan lupa total sama Oik, dan jalanin kehidupan barunya sama Oik yang beda dari sebelumnya. Oik pun lama-kelamaan akan menghapus harapannya pada Cakka. Gimana Biet?” ujar Agni bersemangat.
                “Agni, imposible!” ujar Obiet sambil berjalan meninggalkan Agni.
                “Biet, please, kamu nggak mau kan, kamu harus patah hati seumur hidup? Aku juga nggak mau, kalau salah satu di antara kita nggak kompak, rencana ini nggak bakalan jalan. Cuma kita berdua yang tau. Kita bersikap sewajarnya aja, seolah-olah semua ini bukan rencana yang kita atur sendiri. Please Biet...” ucap Agni memohon.
                “Agni, aku nggak akan mau ngorbanin suatu persahabatan. Aku yakin, Cakka akan inget tentang Oik, walau pun kamu ngehalangin dia. Dan aku nggak akan pernah merasa tersiksa.” ujar Obiet.
                “Biet... please, ini nggak akan ngorbanin persahabatan kita. Tapi kalau ini nggak terjadi, ini akan ngorbanin perasaan kita.” ucap Agni.
                “Dan kalau ini terjadi, ini hanya akan ngorbanin perasaan Cakka dan Oik. Sekarang, aku udah terima kenyataan yang ada, bahwa aku nggak akan pernah dapetin hati Oik.” ucap Obiet sambil berlari menuju kelasnya.
                “Biet...” teriak Agni.
                Agni pun melaksanakan rencananya sendirian. Satu setengah tahun berlalu, Cakka tetap tidak bisa mengingat Oik, karena tidak ada yang bercerita tentang Oik untuk Cakka. Cakka dan teman-temannya kini telah duduk di kelas 1 SMU. Pagi itu di sekolah, seorang siswi turun dari mobil pribadinya dan berjalan melewati koridor sekolah menuju kelasnya.
                “Oik...” teriak Rahmi.
                “Rahmi, aku kangen banget...” ucap Oik sambil memeluk Rahmi.
                “Sama, aku juga. Duh, nggak seru kalau nggak ada kamu!” ucap Rahmi.
                “Ah, biasa aja kali. Hei, aku pingin ketemu sama temen yang lainnya, mereka dimana?” tanya Oik.
                “Wah, jam segini mereka nggak ada di satu tempat kali. Kamu mau nyari siapa sih?” tanya Rahmi penasaran.
                “Cakka! Cakka dimana?” tanya Oik semangat.
                “Ehm, biasanya, dia ada di lapangan basket. Kamu cek dulu deh, kalau dia nggak ada di sana, kamu cari aja di kantin.” ucap Rahmi.
                “Hei, aku pingin kumpul bareng kayak dulu, biasanya kalian ngumpul kapan, dimana?” tanya Oik.
                “Taman belakang, pas istirahat biasanya.” ucap Rahmi.
                “Ya udah, dah...” pamit Oik sembari berlari menuju lapangan basket. Didapatinya Cakka sedang duduk sendirian di bangku penonton. Oik berlari menghampiri Cakka dan memeluknya.
                “Cakka, aku kangen banget....” ucap Oik.
                “Ehm, sorry, tapi jangan sambil meluk juga kan?”ucap Cakka sambil melepaskan pelukan Oik.
                “Cakka, hari gini jangan bercanda deh!” ucap Oik.
                “Bercanda?” ucap Cakka lalu menggelengkan kepala dan pergi meninggalkan Oik yang diam seribu bahasa. Oik mengejar Cakka.
                “Cak, kamu kenapa sih? Kok jadi cuek gini?” tanya Oik.
                “Cuek?” tanya Cakka bingung.
                Seseorang memanggil Cakka, dan ternyata dia adalah Agni.
                “Cak...” teriak Agni.
                Cakka berlari meninggalkan Oik dan menghampiri Agni.
                “Apaan, Ag?” tanya Cakka.
                “Hei, aku baru menang undian, hadiahnya, kita boleh makan di kantin sepuasnya. Batasnya nyampe pulang sekolah lho, kita makan sekarang aja yuk! Sekalian kita ajak temen-temen yang lainnya!” ajak Agni antusias.
                “Ok, tapi jam segini, mereka kocar-kacir nggak tau kemana!” ucap Cakka.
                “Eh, siapa tuh?” tanya Agni sambil menunjuk Oik yang berada jauh di depannya.
                “Nggak tau tuh, anak baru kali, dia tiba-tiba meluk aku, katanya kangen, orang aku nggak kenal kok!” ucap Cakka kesal.
                Oik?... ucap Agni dalam hati.
                “Ehm, ada ya orang kayak gitu? Duh, sekarang, aku nyari temen-temen, kamu juga, aku bagian sekolah sebelah barat, kamu bagian timur. Ok? Cari sampai dapet!” perintah Agni.
                “Ok...” ucap Cakka.
                Sementara itu, Oik kebingungan atas perilaku Cakka. Oik pun mencari Rahmi. Di dapatinya Rahmi sedang membaca sebuah buku di perpustakaan.
                “Mi...” ucap Oik pelan.
                “Apa, Ik?  Cakkanya udah ketemu?” tanya Rahmi tetap membaca.
                “Mi, Cakka kok berubah?” tanya Oik sedih.
                “Berubah, nggak sama sekali kok...” ucap Rahmi.
                “Tapi, tadi tuh Cakka kayak yang nggak kenal sama aku.” ucap Oik.
                “Hah?” ujar Rahmi sambil menutup bukunya.
                “Kok HAH sih, Mi?” tanya Oik bingung.
                “Maaf Oik, aku lupa. Cakka itu amnesia. Dia lupa sama segalanya. Akibat kecelakaan itu!” ucap Rahmi.
                “Amnesia? Dia lupa sama segalanya? Kapan dia kecelakaan?” tanya Oik bertubi-tubi.
                “Satu setengah tahun yang lalu. Sekarang aku mau bilang tentang kamu sama Cakka.” ujar Rahmi.
                Rahmi menarik tangan Oik untuk keluar dari perpustakaan. Tepat di depan pintu perpustakaan, Cakka berdiri.
                “Mi, kita...” perkataan Cakka terputus.
                “Cak...” ucap Rahmi.
                “Mi, kamu ikut deh, kita bisa makan gratis di kantin, berkat Agni, yuk!” ajak Cakka.
                “Nggak ah, Cak aku cuma mau bilang...” perkataan Rahmi terputus.
                “Duh Mi, solider dong! Eh dia mau ikut, ok, rame-rame nih, dia anak baru?” tanya Cakka.
                “Cak, dengerin aku dulu!” ujar Rahmi.
                 “Mi, aku pergi dulu ya!” pamit Oik sembari meninggalkan Cakka dan Rahmi dan pergi menuju taman belakang.
                “Cak, kenapa kamu kayak gini sih? Kenapa kamu bisa amnesia? Padahal, aku nyangka, kita bakalan seneng-seneng kayak dulu, tapi nyatanya nggak. Cak, aku cuma mau bilang kalau aku tuh sayang sama kamu. Gimana aku bisa semakin sayang sama kamu kalau kamu nggak pernah nganggep aku ada. Kalau aja aku nggak pindah ke Australia, pasti harapan aku bakalan terjadi sekarang. Cak, aku berharap kamu punya perasaan yang sama kayak aku. Tapi, sekarang kamu udah lupa tentang segalanya.” ucap Oik sambil menitikkan air mata.
                Tiba-tiba, Obiet sudah berdiri mematung di samping Oik.
                “Oik! Kapan kamu pulang? Oik, kamu kenapa?” tanya Obiet.
                “Nggak kenapa-kenapa kok...” ucap Oik sambil mengahapus air matanya.
                “Ik, jangan bohong. Keliatan tuh dari muka kamu! Ik, kamu lagi ada masalah ya?” tanya Obiet sambil memberikan sapu tangan kepada Oik.
                Oik mengangguk.
                “Ik, kamu sama kayak aku, aku lagi dilanda masalah juga. Terserah kamu mau dengerin ini atau nggak. Perumpamaannya, aku suka banget sama seseorang, tapi orang itu sama sekali nggak punya perasaan sama aku. Orang itu malah suka sama sahabat aku sendiri. Aku masih naruh harapan sama dia, walaupun aku harus nahan sakit hati selama ini.” ucap Obiet pelan.
                “Biet, siapa orang itu?” tanya Oik.
                “Orang itu... adalah... kamu, Ik!” ucap Obiet dengan menunduk malu.
                “Biet, maaf, aku nggak bisa tulus suka sama kamu, aku sayang banget sama kamu, sebagai sahabat. Maaf Biet...” ujar Oik menitikkan air mata.
                “Iya Oik, aku tanya, kamu harus jawab jujur. Kamu suka kan sama Cakka?” tanya Obiet.
                “Iya Biet, maafin aku!” ucap Oik pelan.
                “kamu nggak usah minta maaf, Ik! Cinta itu nggak bisa dipaksain. Kamu harus dapetin hatinya Cakka, kamu minta bantuan Rahmi, buat ngejelasin semua hal tentang kamu sama Cakka.” pinta Obiet.
                “Biet, please, kamu jangan...” perkataan Oik terputus.
                “Ik, anggep aja ini salah satu permintaan dari aku.” ucap Obiet sambil berjalan pelan meninggalkan Oik.
                “Biet, kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Aku nggak akan pernah lupain kamu, Biet!” ucap Oik.
                Obiet berbalik dan tersenyum kecil. Obiet terus berjalan sampai akhirnya tiba-tiba dia ambruk. Pingsan. Oik berlari menghampiri Obiet.
                “Obiet...” teriak Oik.
                Ketika Obiet membuka matanya, dia berada di ruangan yang tidak asing baginya, rumah sakit.
                “Biet, kamu udah baikan kan?” tanya Oik cemas.
                Obiet menganggukkan kepalanya.
                “Oik, lakuin apa yang aku minta tadi.” ucap Obiet pelan.
                “Cak... kamu nggak inget sama sekali tentang Oik?” tanya Rahmi.
                “Oik? Siapa Oik?” tanya Cakka.
                “Orang yang ada di samping aku adalah Oik. Dia baru pulang dari Australia. Dia temen kita sejak kelas 1 SD...” ucap Rahmi.
                “Aku nggak inget, tapi rasanya familiar banget. Ya udah, aku nggak inget sama sekali, nggak ada di otak aku, aku jalanin aja kehidupan yang baru. Oik, namaku Cakka.” ucap Cakka sambil mengulurkan tangannya dan Oik membalasnya sambil menitikkan air matanya.
                “Oik kamu kok nangis?” tanya Cakka.
                Oik menutup matanya, berharap Cakka menghapus air matanya.
                “Ag, minta tissue dong!” pinta Cakka.
                Agni segera merogoh sakunya dan mengeluarkan tissuenya dan memberikannya kepada Oik.
                “Nih, Ik...” ucap Agni.
                Oik membuka matanya dan menerima tissue yang diberikan Agni dan berlari meninggalkan ruangan tempat Obiet dirawat.
                Dua bulan pun berlalu, Oik tetap menjalani kehidupannya yang 3600 berbeda dari kehidupannya yang dulu bersama Cakka. Pagi itu, sebelum berangkat sekolah, Oik membuka kotak perhiasan lamanya. Sebuah benda jatuh dari kotak itu. Oik mengambilnya, dia merasa benda itu tidak asing baginya.
                “Lho, ini kan kalung dari Cakka, ternyata kalung ini nggak hilang. Aku bakal tunjukkin ini sama Cakka, mungkin aja dia inget sama aku.” ucap Oik.
                Di sekolah, Oik mencari-cari Cakka dan ternyata Cakka sedang duduk bersama Debo.
                “Cak...” panggil Oik.
                “Oik, ada apa?” tanya Cakka.
                “Cak, kamu emang nggak bisa inget sama aku, tapi mungkin pas kamu liat ini, kamu bakalan inget sama aku.” ucap Oik sambil menunjukkan kalung pemberian Cakka.
                Ketika Cakka melihat kalung yang ditunjukkan Oik, Cakka merasa ada sesuatu yang merasuki otaknya yang mengingatkan Cakka pada sesuatu. Cakka memegang kepalanya, dan pingsan. Teman-teman Cakka membawa Cakka ke rumah sakit, karena Cakka tidak siuman sejak dia pingsan sampai setengah jam kemudian. Agni mencoba menyusul Cakka ke rumah sakit, ketika dia melewati pintu gerbang, pak satpam memanggilnya.
                “Neng...” teriak pak satpam.
                “Apaan Pak?” tanya Agni.
                “Kenapa tuh?” tanya pak satpam.
                “Pingsan, duh udah deh Pak, keadaannya lagi kacau nih!” ucap Agni panik.
                “Dia tuh yang dulu kecelakaan di deket tikungan kan? Katanya dia amnesia?” ucap pak satpam.
                “Ehm, tunggu, berarti bapak tahu tentang kecelakaan itu, kenapa dia bisa ketabrak?” tanya Agni.
                “Dia itu ngejar si Oik yang mau pergi ke bandara, eh, dia nggak hati-hati kali, ketabrak deh, kayaknya parah, malah katanya nyampe amnesia gitu!” ucap pak satpam.
                Berarti Oik penyebabnya!, marah Agni dalam hati.
                “Ya udah deh pak, makasih...” pamit Agni.
                Di rumah sakit, Cakka terbaring lemah, semua teman-temannya menunggu Cakka hingga siuman. Tiba-tiba seseorang membuka pintu dan ternyata dia Agni.
                “Hei, maaf aku telat!” ucap Agni.
                “Agni...” ucap Oik.
                “Ik, asal kamu tahu, kenapa Cakka bisa kecelakaan, nyampe amnesia kayak gini, ini semua gara-gara kamu. Dia ngejar kamu ke bandara, sampai akhirnya dia ketabrak dan amnesia. Dan sekarang, kamu bikin Cakka kayak gini. Kamu hampir ngebunuh orang tau!” ujar Agni kesal.
                “Ag, kamu kok kayak gitu sih? Aku nggak tau kalau Cakka ngejar aku ke bandara, aku nggak tau kalau Cakka jadinya kayak gini!” ucap Oik.
                “Alah, jangan bohong kamu.” ucap Agni.
                “Agni!” ucap Cakka.
                “Cakka...” ucap Oik.
                “Ag, ini semua bukan salah Oik, aku yang ingin ngejar Oik ke bandara. Dan sekarang, aku jadi inget sama Oik karena Oik. Kenapa sebelum Oik datang, kalian nggak ngasih tau aku tentang Oik?” tanya Cakka.
                “Maaf Cak, ini semua aku yang atur, aku atur agar nggak ada seorang pun yang ngasih tau kamu tentang Oik, maafin aku Cak!” ucap Agni sambil menitikkan air mata.
                “Agni?” ucap Debo.
                “Sebenernya, aku tuh suka sama kamu Cak, tapi kamu nggak pernah ada perasaan sama aku, hati kamu cuma buat Oik!” ujar Agni sambil meninggalkan ruangan tempat Cakka dirawat.
                “Agni...” panggil Obiet yang datang menghampiri Agni.
                “Apa Biet? Kamu bener Biet, rencana aku tuh sia-sia, dan sekarang, aku harus ngorbanin perasaan dan persahabatan aku aja... Aku nyesel nggak nurutin kata-kata kamu. Pasti mereka nggak bakalan maafin aku!” ucap Agni pesimis.
                “Siapa bilang, kita semua maafin kamu kok, Ag! Kita kan sahabat, dan kita sedang menjalin suatu persahabatan.” ujar Cakka yang tiba-tiba berada di belakang Agni.
                “Iya Ag, dan ini keputusan aku sama Cakka, kita bakalan jadi sahabat aja, biar persahabatan kita selalu terjaga!” ujar Oik.
                “Nggak Ik, aku nggak mau ngelarang orang pacaran. Nggak apa-apa kok, aku rela...” ujar Agni tulus.
                Mereka semua pun memeluk Agni dan berkata, “Kita bangga padamu, Agni!”
                Hari itu adalah hari yang paling indah bagi mereka. Persahabatan mereka tetap terjaga, sampai mereka lulus SMU, bahkan sampai mereka memiliki keluarga masing-masing. Oh, indahnya persahabatan... Seperti bintang yang selalu bersinar karena kita selalu mengharapkannya, persahabatan pun akan selalu bersinar karena kita selalu menjaganya.

“TAMAT”

Juli 2010

Don’t copy it!! XD





Tidak ada komentar:

Posting Komentar