Kamis, 21 Maret 2013

Cerpen : Kasih Sayang Tiada Akhir


 
Oleh Hilda Mega Pratiwi

               
            Annita dan Annisa adalah teman yang sangat akrab. Mereka berdua berteman sejak mereka duduk di bangku kelas 1 SD. Rumah mereka berdekatan, hanya berjarak dua rumah dan sepetak kebun milik ayah Annisa.
            Karena sangat akrab, banyak orang mengira bahwa mereka adalah adik kakak. Bahkan beberapa orang mengira bahwa mereka adalah saudara kembar, karena wajah mereka hampir sama. Hampir setiap hari mereka bertemu. Kalau pun tidak bertemu, mereka pasti berbicara dan berbincang-bincang lewat telepon.
            Annita dan Annisa satu sekolah, bahkan satu kelas. Mereka berdua selalu masuk rangking tiga besar. Jika Annita rangking dua, pasti Annisa rangking satu. Begitu pun sebaliknya. Mereka bersaing namun persahabatan mereka tetap terjaga.
            Liburan sekolah telah tiba. Annita dan keluarganya berencana untuk pergi ke rumah sepupunya di daerah Tanggerang, di daerah sekitar Situ Gintung. Jauh-jauh hari, Annita dan keluarganya telah merencanakan akan pergi ke Anyer, namun sebelumnya, mereka akan menginap di rumah sepupunya selama beberapa hari.
            “Ta, liburan kali ini, kamu mau pergi kemana?” tanya Annisa sambil mencomot pisang goreng buatan ibunya Annita.
            “Aku dan keluargaku mau pergi ke Anyer, tapi sebelumnya, aku mau menginap di rumah sepupuku di daerah Tanggerang, di sekitar Situ Gintung...”  ujar Annita senang.
            “Wah, liburan kamu pasti asyik... Jangan lupa...” ujar Annisa sambil meminum segelas teh manis hangat.
            “Jangan lupa apa?” tanya Annita kebingungan.
            “Oleh-olehnya, Ta...” ujar Annisa penuh harap.
            “Siap... Oh, ya, kamu sendiri mau liburan kemana?” tanya Annita.
            “Aku tidak kemana-mana... Ayah dan ibuku kan Pegawai Negeri Sipil, jadi sepanjang liburan sekolah ayah dan ibuku tidak libur...” ucap Annisa dengan tidak bersemangat.
            “Liburan di rumah juga seru kok... Kamu bisa jadi tukang cuci baju, tukang sapu, tukang bersih-bersih...”
            “Kamu ini...” ujar Annisa sambil mencubit pipi Annita sampai Annita meringis kesakitan.
            “Aw... Eh, sepanjang liburan, kamu tolong siram bunga-bungaku ya... Tolong, Ta... Aku takut bunga-bungaku jadi layu... Mungkin saja aku tak bisa menyiramnya lagi...” ujar Annita dengan penuh harap.
            Deg, Annisa merasa gusar atas perkataan Annita tadi. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya. Entah dia harus senang, sedih, bingung atau bagaimana. Kemudian Annisa memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
            “Ta, aku pulang dulu ya...” Annisa pamit kepada Annita.
            “Kenapa?” tanya Annita kebingungan.
            “Ehm, kata kamu, liburan kali ini, aku harus jadi tukang bersih-bersih kan... Dan, terima kasih atas pisang goreng dan segelas tes manis hangatnya ya... Dah...” ucap Annisa sambil melambaikan tangan dan pulang ke rumahnya.
            Keesokan harinya, Annita dan keluarganya pamit kepada Annisa dan keluarganya. Deg, jantung Annisa berdegup begitu kencang. Dia bingung, apakah hari ini adalah hari yang terindah atau bahkan sebaliknya.
            “Sa, aku pamit ya. Jangan lupa, siram bunga-bungaku!” ujar Annita.
            Annisa menganggukkan kepalanya dan memberikan sebuah liontin kepada Annita. Di dalam liontin itu ada foto Annisa dan Annita.
            “Terima kasih Sa...” ujar Annita sambil memeluk Annisa dan menitikkan air mata kebahagiaan. Bagitu pun Annisa. Namun, Annisa kembali bingung. Apakah ini air mata kebahagiaan atau bahkan sebaliknya.
            Annita dan keluarganya naik ke mobil. Mobil itu melaju dan hilang ditelan tikungan pertigaan perumahan. Annisa segera masuk ke rumah dan menelepon Annita.
            “Hallo... Ta, hati-hati ya... Semoga kamu selamat sampai tujuan...” ucap Annisa.
            “Iya Sa... Aku akan kabari kamu setelah aku sampai di Tanggerang... OK...” ujar Annita senang.
            Klik... telepon ditutup. Gagang telepon disimpan di tempatnya.
            Keesokan harinya, seperti biasa, Annisa mandi dan segera shalat shubuh. Setelah jam menunjukkan angka 7, Annisa mulai merasa bosan. Lalu dia menghidupkan televisi dan memilih channel yang dia sukai. Namun tak ada acara yang mengasyikkan menurutnya. Ketika dia beralih channel ke acara berita, dia mendengar ada musibah yang menimpa Tanggerang. Tanggul situ Gintung jebol. Annisa ingat bahwa kemarin Annita bilang bahwa dia dan keluarganya akan menginap beberapa hari di rumah sepupunya yang berada di sekitar situ Gintung.
            Annisa memperhatikan sekmen berita kali itu dengan seksama. Tim pencari korban berkata bahwa mereka menemukan sebuah liontin dan ketika kamera mengarah ke liontin itu, betapa kagetnya Annisa. Liontin itu adalah pemberian darinya untuk Annita. Dan Annita beserta keluarganya disebutkan pula dalam daftar korban yang hilang.
            Ternyata, firasat Annisa benar. Hari itu mungkin adalah hari terakhir Annisa bertemu dengan Annita. Air mata itu mungkin bukan air mata bahagia, melainkan sebaliknya.
            “Ayah...Ibu...” teriak Annisa.
            “Ada apa Nisa?” tanya ayahnya.
            “Tanggul situ Gintung jebol Yah, Bu. Annita dan keluarganya ada disana, mereka hilang... Yang ditemukan hanya liontin pemberian Nisa...” ujar Annisa dan air mata kesedihan membasahi pipinya.
            “Coba kamu telepon Annita, mungkin saja mereka belum sampai di Tanggerang...” ibu mencoba memberi solusi.
            Annisa mencoba untuk menghubungi Annita. Namun tak pernah ada jawaban. Perasaan Annisa semakin kacau.
            “Annita, coba saja aku mencegahmu untuk tidak pergi ke Tanggerang. Tapi musibah itu datang secara tiba-tiba... Ternyata firasatku benar... Annita, aku sayang padamu... Apakah kita masih bisa bersama sampai kita dewasa nanti? Aku tak tau...” ucap Annisa lirih.

***

Cianjur, 22 Maret 2010

1 komentar: