Oleh Hilda Mega
Pratiwi
Annita dan Annisa adalah teman yang
sangat akrab. Mereka berdua berteman sejak mereka duduk di bangku kelas 1 SD.
Rumah mereka berdekatan, hanya berjarak dua rumah dan sepetak kebun milik ayah
Annisa.
Karena sangat akrab, banyak orang
mengira bahwa mereka adalah adik kakak. Bahkan beberapa orang mengira bahwa
mereka adalah saudara kembar, karena wajah mereka hampir sama. Hampir setiap
hari mereka bertemu. Kalau pun tidak bertemu, mereka pasti berbicara dan
berbincang-bincang lewat telepon.
Annita dan Annisa satu sekolah,
bahkan satu kelas. Mereka berdua selalu masuk rangking tiga besar. Jika Annita
rangking dua, pasti Annisa rangking satu. Begitu pun sebaliknya. Mereka
bersaing namun persahabatan mereka tetap terjaga.
Liburan sekolah telah tiba. Annita
dan keluarganya berencana untuk pergi ke rumah sepupunya di daerah Tanggerang,
di daerah sekitar Situ Gintung. Jauh-jauh hari, Annita dan keluarganya telah
merencanakan akan pergi ke Anyer, namun sebelumnya, mereka akan menginap di
rumah sepupunya selama beberapa hari.
“Ta, liburan kali ini, kamu mau
pergi kemana?” tanya Annisa sambil mencomot pisang goreng buatan ibunya Annita.
“Aku dan keluargaku mau pergi ke
Anyer, tapi sebelumnya, aku mau menginap di rumah sepupuku di daerah Tanggerang,
di sekitar Situ Gintung...” ujar Annita
senang.
“Wah, liburan kamu pasti asyik...
Jangan lupa...” ujar Annisa sambil meminum segelas teh manis hangat.
“Jangan lupa apa?” tanya Annita
kebingungan.
“Oleh-olehnya, Ta...” ujar Annisa
penuh harap.
“Siap... Oh, ya, kamu sendiri mau
liburan kemana?” tanya Annita.
“Aku tidak kemana-mana... Ayah dan
ibuku kan Pegawai Negeri Sipil, jadi sepanjang liburan sekolah ayah dan ibuku
tidak libur...” ucap Annisa dengan tidak bersemangat.
“Liburan di rumah juga seru kok...
Kamu bisa jadi tukang cuci baju, tukang sapu, tukang bersih-bersih...”
“Kamu ini...” ujar Annisa sambil
mencubit pipi Annita sampai Annita meringis kesakitan.
“Aw... Eh, sepanjang liburan, kamu
tolong siram bunga-bungaku ya... Tolong, Ta... Aku takut bunga-bungaku jadi
layu... Mungkin saja aku tak bisa menyiramnya lagi...” ujar Annita dengan penuh
harap.
Deg, Annisa merasa gusar atas
perkataan Annita tadi. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya. Entah dia harus
senang, sedih, bingung atau bagaimana. Kemudian Annisa memutuskan untuk pulang
ke rumahnya.
“Ta, aku pulang dulu ya...” Annisa
pamit kepada Annita.
“Kenapa?” tanya Annita kebingungan.
“Ehm, kata kamu, liburan kali ini,
aku harus jadi tukang bersih-bersih kan... Dan, terima kasih atas pisang goreng
dan segelas tes manis hangatnya ya... Dah...” ucap Annisa sambil melambaikan
tangan dan pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya, Annita dan
keluarganya pamit kepada Annisa dan keluarganya. Deg, jantung Annisa berdegup
begitu kencang. Dia bingung, apakah hari ini adalah hari yang terindah atau
bahkan sebaliknya.
“Sa, aku pamit ya. Jangan lupa,
siram bunga-bungaku!” ujar Annita.
Annisa menganggukkan kepalanya dan
memberikan sebuah liontin kepada Annita. Di dalam liontin itu ada foto Annisa
dan Annita.
“Terima kasih Sa...” ujar Annita
sambil memeluk Annisa dan menitikkan air mata kebahagiaan. Bagitu pun Annisa.
Namun, Annisa kembali bingung. Apakah ini air mata kebahagiaan atau bahkan
sebaliknya.
Annita dan keluarganya naik ke
mobil. Mobil itu melaju dan hilang ditelan tikungan pertigaan perumahan. Annisa
segera masuk ke rumah dan menelepon Annita.
“Hallo... Ta, hati-hati ya... Semoga
kamu selamat sampai tujuan...” ucap Annisa.
“Iya Sa... Aku akan kabari kamu
setelah aku sampai di Tanggerang... OK...” ujar Annita senang.
Klik... telepon ditutup. Gagang
telepon disimpan di tempatnya.
Keesokan harinya, seperti biasa,
Annisa mandi dan segera shalat shubuh. Setelah jam menunjukkan angka 7, Annisa
mulai merasa bosan. Lalu dia menghidupkan televisi dan memilih channel yang dia
sukai. Namun tak ada acara yang mengasyikkan menurutnya. Ketika dia beralih
channel ke acara berita, dia mendengar ada musibah yang menimpa Tanggerang.
Tanggul situ Gintung jebol. Annisa ingat bahwa kemarin Annita bilang bahwa dia
dan keluarganya akan menginap beberapa hari di rumah sepupunya yang berada di
sekitar situ Gintung.
Annisa memperhatikan sekmen berita kali
itu dengan seksama. Tim pencari korban berkata bahwa mereka menemukan sebuah
liontin dan ketika kamera mengarah ke liontin itu, betapa kagetnya Annisa.
Liontin itu adalah pemberian darinya untuk Annita. Dan Annita beserta
keluarganya disebutkan pula dalam daftar korban yang hilang.
Ternyata, firasat Annisa benar. Hari
itu mungkin adalah hari terakhir Annisa bertemu dengan Annita. Air mata itu mungkin
bukan air mata bahagia, melainkan sebaliknya.
“Ayah...Ibu...” teriak Annisa.
“Ada apa Nisa?” tanya ayahnya.
“Tanggul situ Gintung jebol Yah, Bu.
Annita dan keluarganya ada disana, mereka hilang... Yang ditemukan hanya
liontin pemberian Nisa...” ujar Annisa dan air mata kesedihan membasahi pipinya.
“Coba kamu telepon Annita, mungkin
saja mereka belum sampai di Tanggerang...” ibu mencoba memberi solusi.
Annisa mencoba untuk menghubungi
Annita. Namun tak pernah ada jawaban. Perasaan Annisa semakin kacau.
“Annita, coba saja aku mencegahmu
untuk tidak pergi ke Tanggerang. Tapi musibah itu datang secara tiba-tiba...
Ternyata firasatku benar... Annita, aku sayang padamu... Apakah kita masih bisa
bersama sampai kita dewasa nanti? Aku tak tau...” ucap Annisa lirih.
***
Cianjur, 22 Maret 2010